Minggu, 08 November 2015

Direktorat PAI Siap Bukukan Pengalaman 
Kegiatan Visiting
Foto
Jakarta (Pendis) - Perjuangan para Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) dalam Program Visiting GPAI di daerah terpencil, terluar dan terdalam (3T) sangat luar biasa. Selain mendapatkan pengalaman-pengalaman menarik dan menyentuh, para guru yang dikirim oleh Direktorat PAI (Dit. PAI) melalui program visiting ini bisa menjadi contoh atau role model para guru PAI lainnya tentang upaya mereka menggerakan semangat GPAI di daerah tersebut untuk bangkit dari "kekurang kreatifan" dalam mengajar. Keterbatasan fasilitas bukan menjadi kendala pokok dalam menemukan inovasi-inovasi baru dalam mengajar. Karena yang penting adalah para GPAI bisa menemukan ruh kreativitas saat di kelas.
Dit. PAI menurut rencana akan membukukan kisah dan pengalaman luar biasa para GPAI yang tergabung dalam Tim Visiting ini dalam sebuah buku. Buku ini akan menjadi kenangan menarik dan sumber bacaan bermutu karena berisikan pengalaman dan fakta di lapangan khususnya gambaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di daerah-daerah khusus tersebut.
Demikian disampaikan oleh Dr. Amin Haedari, Direktur PAI di Jakarta (03/11/15) saat menerima kembali para Tim Visiting GPAI SD setelah seminggu dari tanggal 28 Oktober-2 November 2015 bertugas di 25 Kabupaten Kota di Indonesia dengan berbagai lika-liku pengalaman yang mereka temukan. Baik pengalaman dari mulai menjangkau daerah tersebut hingga pengalaman menaklukan berbagai kendala-kendala strategis dalam berbagi dengan GPAI di daerah setempat melalui kegiatan mengajar, pelatihan atau workshop-workshop singkat yang mereka selenggarakan.
Dalam paparan evaluasinya di depan Direktur PAI tersebut para Tim Visiting antusias menyampaikan pengalamannya. Misalnya GPAI yang dikirim ke Kabupaten Moratai, Maluku Utara mereka harus menempuh perjalanan kurang lebih 15 jam dari Jakarta untuk sampai ke sana dengan pesawat terbang dan kapal laut. Belum lagi tantangan fisik seperti kabut asap di Kab. Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, ketiadaan sarana air yang memadai sehingga harus mandi di tengah hutan seperti di Kab. Lingga, Kepulauan Riau atau krisis listrik dan sinyal baik seluler maupun internet yang menyebabkan mereka sulit melakukan komunikasi seperti di Kab. Donggala, Sulawesi Tengah. Namun di Kab. Nunukan, Kalimantan Timur yang merupakan salah satu wilayah perbatasan dengan Malaysia, Tim Visiting di sana juga dibuat terharu bagaimana para anak didik, putra-putri Indonesia justru memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan membanggakan. Selain mengajar mereka juga didapuk sebagai pembina upacara untuk menguatkan mental para anak didik di daerah perbatasan.
(wikan/dod)
Diupload oleh : dod (-) | Kategori: Kegiatan PAIS | Tanggal: 06-11-2015 11:41

Kamis, 05 November 2015

Merevitalisasi Pendidikan Indonesia dengan Pendidikan Karakter dan Adab

pendidikan-karakterdakwatuna.com – Tidak ada kegiatan bangsa yang lepas dari peran pendidikan. Bahkan dalam banyak hal peran pendidikan sangat menentukan untuk dapat melakukan kegiatan yang bermutu. Karena maju atau mundurnya suatu negara itu terlihat dari kualitas pendidikannya. Karena Pendidikan akan berdampak kepada berbagai aspek kehidupan yang lainnya – seperti bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, dan lain sebagainya. Sebab itu setiap bangsa menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk membangun peradabannya menjadi lebih baik.
Melihat kondisi pendidikan Indonesia saat ini sangat memprihatinkan, pendidikan belum dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. banyak dari masyarakat Indonesia yang belum merasakan manisnya dunia pendidikan, baik itu SD, SMP, SMA apalagi Perguruan Tinggi. Tetapi banyak pula yang sudah merasakan manisnya dunia pendidikan bahkan sampai tingkat perguruan tinggi tetapi kepribadiannya seperti orang yang tidak berpendidikan. Contohnya ialah para pejabat negara yang korupsi, baik itu yang di legislatif maupun yang di eksekutif. Kebanyakan dari mereka yang korupsi memiliki gelar akademik sarjana, magister, doktor, bahkan sampai profesor, tetapi kepribadian mereka melakukan korupsi yang membuat rakyat sengsara dan negara merugi tidak jauh berbeda dengan rakyat yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah.
Selama ini dirasakan pula bahwa banyak yang menyebut pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah.
Budayawan Mochtar Lubis, bahkan pernah memberikan deskripsi karakter bangsa Indonesia yang sangat negatif. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1997. Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia Indonesia sebagai berikut : munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya[1].
Pakar pendidikan Arief Rahman menilai bahwa sekitar 80% tenaga pendidik atau guru dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi masih menerapkan metode sebagai pengajar bukan sebagai pendidik. Apabila proses pendidikan tidak memperhatikan perkembangan dan karakter seorang anak, maka yang terjadi adalah dua hal: pertama, peserta didik hanya unggul pada sisi pengetahuan namun tidak membentuk watak dan kepribadian peserta didik sebab tidak proses pendidikan kecuali hanya menyampaikan informasi. Kedua, peserta didik tidak mengalami perkembangan apapun baik dari sisi pengetahuan dan kepribadian sebab proses pengajaran tidak memperhatikan faktor-faktor karakteristik peserta didik.[2]
Pemaparan di atas menggambarkan bahwa ada yang perlu di perbaiki dalam implementasi proses pendidikan kita, dan salah satu cara untuk memperbaikinya adalah dengan di terapkanynya pendidikan karakter kepada setiap individu perserta didik. karena pendidikan karakter menurut Dr. Ratna Megawangi adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti , yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya[3]. Aristoteles kabarnya juga berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian, dan teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan berbuat baik, berlaku jujur, kstaria; malu berbuat curang, malu membiarkan lingkungan kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.
Founding Father kita yang juga Presiden pertama Indonesia yaitu Bung karno pernah mengatakan “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building), karena pembangunan karakter inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, jaya serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa indonesia akan menjadi bangsa kuli” selaras dengan Soekarno, Presiden Republik Indonesia yang ke enam, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan hal serupa tentang pendidikan karakter yaitu “Pembangunan watak (character building) adalah amat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berprilaku baik. Bangsa kita ini ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Bangsa yang yang berkarakter unggul, disamping tercermin dari moral, etika dan budi pekerti yang baik juga di tandai dengan semangat, tekat dan energi yang kuat, dengan pikiran yang positif dan sikap yang optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan yang tinggi:”
Namun dalam Konsep Islam, ternyata Pendidikan Karakter saja tidak cukup! jika bangsa cina maju sebagai hasil pendidikan karakter, dan banyak orang cina yang memiliki kepribadian jujur, pekerja keras, berani dan bertanggung jawab. lalu apa bedanya orang Komunis yang berkarakter dengan orang Muslim yang berkarakter? Bagi seorang muslim, berkarakter saja tidaklah cukup. Beda antara Muslim dan non Muslim meskipun sama sama berkarakter adalah “Konsep Adab”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Adab di definisikan sebagai: kesopanan, kehalusan, kebaikan budi pekerti dan akhlak. Sedangkan beradab diartikan sebagai sopan, baik budi bahasa, dan telah maju tingkat kehidupan lahir dan batinya.
Istilah adab juga merupakan salah satu istilah dasar dalam Islam. Para ulama telah banyak membahas makna adab dalam Islam, istilah adab bisa ditemukan dalam sejumlah hadist Nabi Saw. Misalnya, Anas r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: “Muliakanlah anakmu, dan perbaikilah adab mereka”. Sejumlah ulama juga menulis kitab terkait dengan adab, seperti al-Mawardi menulis “Adab ad-Dunya wa ad-Din, Muhammad bin Shanun at-Tanwukhi menulis “Adab wa al-mu’alimin “
Karakter pada umumnya adalah suatu yang baik. Karakter jujur, toleran. Kerja keras dan sebagainya. Tetapi, tanpa disertai dengan Adab, karakter itu akan bisa melampaui batas-batas ajaran agama. Sebagai contoh karakter toleran, toleransi saja tidak cukup! Toleran terhadap apa? Seorang Muslim tidak boleh bersikap toleran terhadap kemusyrikan atau kemungkaran. Sebab setiap muslim berkewajiban menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar.
Di dalam sebuah majalah “Islamia”, dimana majalah itu berisi jurnal-jurnal yang ditulis oleh para pakar pendidikan dan pemikiran Islam. Pada bagian majalah ini, Kholili albi [4]menulis jurnal dengan judul “Konsep Al-Attas tentang Adab” beliau menjelaskan tentang bagaimana pemikiran al-attas dalam Konsep Adab.
Al-Attas mendefinisikan adab adalah pengenalan diri dan pengakuan terhadap realita bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya. Dalam hal ini, al-Attas memberi makna Adab secara lebih dalam dan komprehensif yang berkaitan dengan objek-objek tertentu, yaitu pribadi manusia, ilmu, bahasa, sosial,alam dan Tuhan’.
Pada dasarnya, konsep adab al-Attas ini adalah memperlakukan objek-objek tersebut sesuai dengan aturan, nilai-nilai keimanan, wajar dan tujuan terakhirnya adalah kedekatan spiritual kepada Tuhan.
Maka orang yang beradab menurut al-Attas adalah orang yang baik yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan yang Haq, memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya meningkatkan aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan manusia sebagai manusia yang beradab.
Dengan adab inilah seorang muslim dapat menempatkan karakter pada tempatnya. Kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia bekerja dan belajar keras? Dalam pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi, maka tindakan itu termasuk tindakan tidak beradab, alias biadab.
Kita harus merevitalisasi Pendidikan di Indonesia ini dengan Pendidikan Karakter dan Adab agar peserta didik tidak hanya sekadar berprestasi di akademiknya saja tetapi memiliki akhlak yang baik, berbudi pekerti dan berlaku santun terhadap siapapun. Sehingga menjadikan generasi muda Indonesia menjadi generasi yang produktif dalam membangun bangsa ini menjadi lebih baik lagi.
[1] Hasib, K. (2014). Konsep al-Attas tentang Adab. Pemikiran dan Peradaban Islam, 58-59.
 [2] Muckhlis N, S. d. (2015). Merangkai Mozaik Indonesia. Surabaya: Pustaka Saga.
[3] Husaini, D. (2012). Pendidikan Islam: Membentuk manusia berkarakter dan Beradab. Jakarta: Cakrawala Publishing.
[4] Hasib, K. (2014). Konsep al-Attas tentang Adab. Pemikiran dan Peradaban Islam, 58-59.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/11/06/76599/merevitalisasi-pendidikan-indonesia-dengan-pendidikan-karakter-dan-adab/#ixzz3qfYKt8OW 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Rabu, 04 November 2015

Menjadi Guru Syuhada

Arifah Suryaningsih, S.Pd. *           
Di dunia ini, dari banyaknya jumlah manusia hanya sedikit saja dari mereka yang sadar. Dari sedikit yang sadar itu hanya sedikit yang ber-Islam. Dari sedikit yang ber-Islam itu hanya sedikit yang berdakwah. Dari mereka yang berdakwah lebih sedikit lagi yang berjuang. Dari mereka yang berjuang sedikit sekali yang bersabar. Dan dari mereka yang bersabar hanya sedikit sekali dari mereka yang sampai akhir perjalanan�
�Waktu yang ada  jauh lebih sedikit dari tugas yang harus kita selesaikan dengan sempurna�
-Hasan Al Banna �

Kutipan dari seorang guru dan juga seorang reformis sosial dan politik Islam Mesir pada tahun 1930an tersebut sekedar mengingatkan kita, bahwa tidak banyak orang yang mau berjuang untuk berdakwah/mengajar hingga mencapai pengorbanan yang seutuhnya, sepenuh hati dan berkonsep syuhada (ikhlas berjuang sampai akhir hayatnya).

Fenomena ini terjadi juga di Indonesia, terutama mengenai sistem pendidikan dan kinerja guru, bahwa guru kita tidak loyal, masih sekedar mengejar materi dan kurang memberi dampak bagi pendidikan, banyak yang kurang kompeten, ditambah lagi dengan munculnya kabar bahwa sistem pendidikan kita masih pada posisi terendah dunia berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson yang memadukan hasil tes internasional dan data seperti tingkat kelulusan antara tahun 2006 dan 2010. Sir Michael Barber, penasihat pendidikan utama Pearson, mengatakan, peringkat tersebut disusun berdasarkan keberhasilan negara-negara memberikan status tinggi pada guru dan memiliki "budaya" pendidikan. (Kompas.com, Selasa, 27 November 2012).

Masyarakat kita seakan mengalami krisis kepercayaan terhadap sistem pendidikan kita. Padahal rasio jumlah guru berbanding jumlah peserta didik di Indonesia merupakan yang "termewah" di dunia, yaitu sekitar 1:18. Akan tetapi, angka rasio itu tidak diimbangi dengan sistem pendistribusian yang cukup baik. Kurangnya tenaga guru di berbagai daerah dipicu oleh sistem yang kurang baik dalam pendistribusian guru (Kompas.com, Kamis, 24 November 2011).

Ditengah terjadinya krisis kepercayaan tersebut, muncullah program-program yang seakan menjawab permasalahan tersebut. Seorang Anis Baswedan menggulirkan program Indonesia mengajar, program pengiriman pengajar muda berprestasi ke seluruh pelosok negeri yang dimulai pada awal 2010 itu kini telah bermitra dengan 17 pemerintah kabupaten yang tersebar di 16 provinsi di Indonesia. Selanjutnya ada juga program SM3T(Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan tertinggal) dari Kemendikbud, yaitu program pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi dalam percepatan pembangunan pendidikan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal di Indonesia, selama satu tahun, dan akan dilanjutkan dengan Program Pendidikan Profesi Guru. Pengiriman peserta SM3T telah dilakukan dua angkatan. Angkatan pertama sebanyak 2479 orang. Sedangkan angkatan kedua sebanyak 2726 peserta telah diberangkatkan untuk masa pengabdian November 2012 � Oktober 2013. (www.kopertis12.or.id)

Pada dua contoh program-program peduli pendidikan tersebut, dapat kita temukan insan-insan muda yang mempunyai jiwa pendidik yang luar biasa. Apa yang mereka lakukan bukan sekedar dongeng atau cerita epic tentang kepahlawanan seorang guru yang sering kita dengar. Peserta sarjana pendidikan ini tidak menolak tugas apa saja, mereka tidak sekedar mengajar di kelas, namun juga memotret pendidikan di daerahnya, menginspirasi anak-anak pedalaman agar mau kembali bersekolah, berkoordinasi dengan dinas dan pemerintah setempat terkait soal fasilitas. Itulah sekilas kegiatan nyata yang mereka lakukan, dengan kesadaran, kemauan, tekad serta semangat muda yang masih berkobar, mereka rela �berdarah-darah� untuk kemajuan pendidikan negeri ini.

Bukan materi, penghargaan dan pujian yang mereka cari, bukan juga nama besar yang ingin mereka ukir, mereka hanya tahu dan sadar, bahwa negeri ini masih harus diperjuangkan. Peristiwa terbaliknya kapal boat yang mengakibatkan meninggalnya dua orang guru peserta program SM3T, Winda Yulia dan Geugeut Zaludio disaat menjalankan tugasnya di SMP Negeri 2 Simpang Jernih di Melidi, Aceh Timur,  membuka mata hampir semua orang, bahwa mereka ada, mereka berjuang sampai titik darah penghabisan. Kedua alumnus berprestasi dari UPI Bandung ini adalah syuhada-syuhada muda yang rela meninggalkan �dunia indahnya� untuk mendidik.

Mereka berdua, bersama dengan ribuan pendidik muda lainnya, telah memberikan kemampuan serta performa terbaiknya bagi anak-anak di daerah-daerah yang �terlupakan�. Mereka adalah sarjana-sarjana terbaik dari berbagai penjuru tanah air. Mereka terpanggil untuk menjadi pendidik yang ikut membantu mencerdaskan kehidupan bangsa ini melalui langkah nyata di bidang pendidikan. Selanjutnya mungkin kita akan bertanya, ada berapa guru kita yang juga mempunyai jiwa Syuhada seperti itu di negeri ini?

Jumlah anak-anak muda hebat itu tidak banyak, bahkan nama merekapun tidak termasuk dalam daftar hitungan jumlah guru yang tersebar di seluruh tanah air ini, karena Program Pendidikan Profesi Guru pun belum juga mereka jalani untuk kemudian bisa menjadi syarat dan bisa disebut sebagai guru profesional. Namun tidak seorangpun meragukan keprofesionalan mereka sebagai pendidik. Kenyataan ini seharusnya menjadi sebuah tamparan hebat bagi para penyandang guru profesional, untuk bisa tersadar, karena hal ini bukan hanya retorika jika semua guru mau bercermin, mawas diri, dan instropeksi. Bahwa jiwa syuhada perlu dihadirkan di dalam diri setiap guru.

Bahwa mendidik itu bukan sekedar di bibir, tapi juga di hati. Anak-anak kita adalah manusia, dimana masih kepada gurulah pendidikan ini bertumpu. Meskipun sistem pembelajaran telah berkembang sedemikian pesatnya dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, peran guru tidak dapat dihilangkan begitu saja. Ia masih tetap menjadi tokoh sentral dan motivator dikelasnya dan juga menjadi harapan munculnya pencerahan dari setiap murid-muridnya. Bangsa ini masih berharap banyak kepada sosok guru, merindukan guru yang hebat, yang siap berjuang untuk memberi arti kepada setiap generasi.

Apa yang telah dilakukan oleh anak-anak muda itu seharusnya menjadi cambuk dan pencerminan untuk semua guru dinegeri ini, bahwa jika 2,7 juta guru sanggup dan mau untuk bersyuhada dalam profesinya, generasi emas yang kita impikan bersama akan tercetak pada dekade dimana merekalah yang akan memimpin negeri ini. Ramalan Mc-Kinsey tentang kejayaan Indonesia pada tahun 2030 akan menjadi sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi.

Semua itu bukanlah hal yang mudah. Banyak resistansi yang akan terjadi ketika perubahan harus dilakukan. Dimana perjuangan dan kesadaran untuk menghilangkan hambatan itulah yang kini harus mulai dilakukan. Apalagi guru sekarang (baca: guru bersertifikasi) adalah sebuah profesi yang tidak dipandang sebelah mata, perhatian pemerintah akan nasib guru dan juga fokus pembangunan pada pendidikan telah menciptakan zona nyaman pada sisi kesejahteraan guru. Sudah sepatutnya guru mengeluarkan segenap potensinya untuk membangun negeri ini, membangkitkan negeri ini dari keterpurukan yang panjang. Guru adalah ujung tombak keberhasilan tersambungnya tongkat estafet kepemimpinan negeri yang lebih bermartabat.
Penulis adalah Pengurus Harian IGI (Ikatan Guru Indonesia) cabang DIY, sedang menempuh pendidikan pada Manajemen Kepengawasan Pendidikan di MM UGM.

Posting: 03 Jan 2013