Minggu, 08 November 2015

Direktorat PAI Siap Bukukan Pengalaman 
Kegiatan Visiting
Foto
Jakarta (Pendis) - Perjuangan para Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) dalam Program Visiting GPAI di daerah terpencil, terluar dan terdalam (3T) sangat luar biasa. Selain mendapatkan pengalaman-pengalaman menarik dan menyentuh, para guru yang dikirim oleh Direktorat PAI (Dit. PAI) melalui program visiting ini bisa menjadi contoh atau role model para guru PAI lainnya tentang upaya mereka menggerakan semangat GPAI di daerah tersebut untuk bangkit dari "kekurang kreatifan" dalam mengajar. Keterbatasan fasilitas bukan menjadi kendala pokok dalam menemukan inovasi-inovasi baru dalam mengajar. Karena yang penting adalah para GPAI bisa menemukan ruh kreativitas saat di kelas.
Dit. PAI menurut rencana akan membukukan kisah dan pengalaman luar biasa para GPAI yang tergabung dalam Tim Visiting ini dalam sebuah buku. Buku ini akan menjadi kenangan menarik dan sumber bacaan bermutu karena berisikan pengalaman dan fakta di lapangan khususnya gambaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di daerah-daerah khusus tersebut.
Demikian disampaikan oleh Dr. Amin Haedari, Direktur PAI di Jakarta (03/11/15) saat menerima kembali para Tim Visiting GPAI SD setelah seminggu dari tanggal 28 Oktober-2 November 2015 bertugas di 25 Kabupaten Kota di Indonesia dengan berbagai lika-liku pengalaman yang mereka temukan. Baik pengalaman dari mulai menjangkau daerah tersebut hingga pengalaman menaklukan berbagai kendala-kendala strategis dalam berbagi dengan GPAI di daerah setempat melalui kegiatan mengajar, pelatihan atau workshop-workshop singkat yang mereka selenggarakan.
Dalam paparan evaluasinya di depan Direktur PAI tersebut para Tim Visiting antusias menyampaikan pengalamannya. Misalnya GPAI yang dikirim ke Kabupaten Moratai, Maluku Utara mereka harus menempuh perjalanan kurang lebih 15 jam dari Jakarta untuk sampai ke sana dengan pesawat terbang dan kapal laut. Belum lagi tantangan fisik seperti kabut asap di Kab. Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, ketiadaan sarana air yang memadai sehingga harus mandi di tengah hutan seperti di Kab. Lingga, Kepulauan Riau atau krisis listrik dan sinyal baik seluler maupun internet yang menyebabkan mereka sulit melakukan komunikasi seperti di Kab. Donggala, Sulawesi Tengah. Namun di Kab. Nunukan, Kalimantan Timur yang merupakan salah satu wilayah perbatasan dengan Malaysia, Tim Visiting di sana juga dibuat terharu bagaimana para anak didik, putra-putri Indonesia justru memiliki rasa nasionalisme yang tinggi dan membanggakan. Selain mengajar mereka juga didapuk sebagai pembina upacara untuk menguatkan mental para anak didik di daerah perbatasan.
(wikan/dod)
Diupload oleh : dod (-) | Kategori: Kegiatan PAIS | Tanggal: 06-11-2015 11:41

Kamis, 05 November 2015

Merevitalisasi Pendidikan Indonesia dengan Pendidikan Karakter dan Adab

pendidikan-karakterdakwatuna.com – Tidak ada kegiatan bangsa yang lepas dari peran pendidikan. Bahkan dalam banyak hal peran pendidikan sangat menentukan untuk dapat melakukan kegiatan yang bermutu. Karena maju atau mundurnya suatu negara itu terlihat dari kualitas pendidikannya. Karena Pendidikan akan berdampak kepada berbagai aspek kehidupan yang lainnya – seperti bidang ekonomi, politik, hukum, sosial, dan lain sebagainya. Sebab itu setiap bangsa menjadikan pendidikan sebagai sarana untuk membangun peradabannya menjadi lebih baik.
Melihat kondisi pendidikan Indonesia saat ini sangat memprihatinkan, pendidikan belum dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia. banyak dari masyarakat Indonesia yang belum merasakan manisnya dunia pendidikan, baik itu SD, SMP, SMA apalagi Perguruan Tinggi. Tetapi banyak pula yang sudah merasakan manisnya dunia pendidikan bahkan sampai tingkat perguruan tinggi tetapi kepribadiannya seperti orang yang tidak berpendidikan. Contohnya ialah para pejabat negara yang korupsi, baik itu yang di legislatif maupun yang di eksekutif. Kebanyakan dari mereka yang korupsi memiliki gelar akademik sarjana, magister, doktor, bahkan sampai profesor, tetapi kepribadian mereka melakukan korupsi yang membuat rakyat sengsara dan negara merugi tidak jauh berbeda dengan rakyat yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah.
Selama ini dirasakan pula bahwa banyak yang menyebut pendidikan telah gagal, karena banyak lulusan sekolah atau sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mental dan moralnya lemah.
Budayawan Mochtar Lubis, bahkan pernah memberikan deskripsi karakter bangsa Indonesia yang sangat negatif. Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1997. Mochtar Lubis mendeskripsikan ciri-ciri umum manusia Indonesia sebagai berikut : munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, masih percaya takhayul, lemah karakter, cenderung boros, suka jalan pintas, dan sebagainya[1].
Pakar pendidikan Arief Rahman menilai bahwa sekitar 80% tenaga pendidik atau guru dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi masih menerapkan metode sebagai pengajar bukan sebagai pendidik. Apabila proses pendidikan tidak memperhatikan perkembangan dan karakter seorang anak, maka yang terjadi adalah dua hal: pertama, peserta didik hanya unggul pada sisi pengetahuan namun tidak membentuk watak dan kepribadian peserta didik sebab tidak proses pendidikan kecuali hanya menyampaikan informasi. Kedua, peserta didik tidak mengalami perkembangan apapun baik dari sisi pengetahuan dan kepribadian sebab proses pengajaran tidak memperhatikan faktor-faktor karakteristik peserta didik.[2]
Pemaparan di atas menggambarkan bahwa ada yang perlu di perbaiki dalam implementasi proses pendidikan kita, dan salah satu cara untuk memperbaikinya adalah dengan di terapkanynya pendidikan karakter kepada setiap individu perserta didik. karena pendidikan karakter menurut Dr. Ratna Megawangi adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti , yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya[3]. Aristoteles kabarnya juga berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap dimanifestasikan dalam tingkah laku.
Pendidikan karakter bukanlah sebuah proses menghafal materi soal ujian, dan teknik menjawabnya. Pendidikan karakter memerlukan pembiasaan. Pembiasaan berbuat baik, berlaku jujur, kstaria; malu berbuat curang, malu membiarkan lingkungan kotor. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius dan proporsional agar mencapai bentuk dan kekuatan yang ideal.
Founding Father kita yang juga Presiden pertama Indonesia yaitu Bung karno pernah mengatakan “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building), karena pembangunan karakter inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, jaya serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa indonesia akan menjadi bangsa kuli” selaras dengan Soekarno, Presiden Republik Indonesia yang ke enam, yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan hal serupa tentang pendidikan karakter yaitu “Pembangunan watak (character building) adalah amat penting. Kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak, berbudi pekerti, dan berprilaku baik. Bangsa kita ini ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mulia. Bangsa yang yang berkarakter unggul, disamping tercermin dari moral, etika dan budi pekerti yang baik juga di tandai dengan semangat, tekat dan energi yang kuat, dengan pikiran yang positif dan sikap yang optimis, serta dengan rasa persaudaraan, persatuan dan kebersamaan yang tinggi:”
Namun dalam Konsep Islam, ternyata Pendidikan Karakter saja tidak cukup! jika bangsa cina maju sebagai hasil pendidikan karakter, dan banyak orang cina yang memiliki kepribadian jujur, pekerja keras, berani dan bertanggung jawab. lalu apa bedanya orang Komunis yang berkarakter dengan orang Muslim yang berkarakter? Bagi seorang muslim, berkarakter saja tidaklah cukup. Beda antara Muslim dan non Muslim meskipun sama sama berkarakter adalah “Konsep Adab”.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Adab di definisikan sebagai: kesopanan, kehalusan, kebaikan budi pekerti dan akhlak. Sedangkan beradab diartikan sebagai sopan, baik budi bahasa, dan telah maju tingkat kehidupan lahir dan batinya.
Istilah adab juga merupakan salah satu istilah dasar dalam Islam. Para ulama telah banyak membahas makna adab dalam Islam, istilah adab bisa ditemukan dalam sejumlah hadist Nabi Saw. Misalnya, Anas r.a meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: “Muliakanlah anakmu, dan perbaikilah adab mereka”. Sejumlah ulama juga menulis kitab terkait dengan adab, seperti al-Mawardi menulis “Adab ad-Dunya wa ad-Din, Muhammad bin Shanun at-Tanwukhi menulis “Adab wa al-mu’alimin “
Karakter pada umumnya adalah suatu yang baik. Karakter jujur, toleran. Kerja keras dan sebagainya. Tetapi, tanpa disertai dengan Adab, karakter itu akan bisa melampaui batas-batas ajaran agama. Sebagai contoh karakter toleran, toleransi saja tidak cukup! Toleran terhadap apa? Seorang Muslim tidak boleh bersikap toleran terhadap kemusyrikan atau kemungkaran. Sebab setiap muslim berkewajiban menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar.
Di dalam sebuah majalah “Islamia”, dimana majalah itu berisi jurnal-jurnal yang ditulis oleh para pakar pendidikan dan pemikiran Islam. Pada bagian majalah ini, Kholili albi [4]menulis jurnal dengan judul “Konsep Al-Attas tentang Adab” beliau menjelaskan tentang bagaimana pemikiran al-attas dalam Konsep Adab.
Al-Attas mendefinisikan adab adalah pengenalan diri dan pengakuan terhadap realita bahwasannya ilmu dan segala sesuatu yang ada terdiri dari hirarki yang sesuai dengan kategori-kategori dan tingkatan-tingkatannya. Dalam hal ini, al-Attas memberi makna Adab secara lebih dalam dan komprehensif yang berkaitan dengan objek-objek tertentu, yaitu pribadi manusia, ilmu, bahasa, sosial,alam dan Tuhan’.
Pada dasarnya, konsep adab al-Attas ini adalah memperlakukan objek-objek tersebut sesuai dengan aturan, nilai-nilai keimanan, wajar dan tujuan terakhirnya adalah kedekatan spiritual kepada Tuhan.
Maka orang yang beradab menurut al-Attas adalah orang yang baik yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhan yang Haq, memahami dan menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain dalam masyarakat, berupaya meningkatkan aspek dalam dirinya menuju kesempurnaan manusia sebagai manusia yang beradab.
Dengan adab inilah seorang muslim dapat menempatkan karakter pada tempatnya. Kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia bekerja dan belajar keras? Dalam pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi, maka tindakan itu termasuk tindakan tidak beradab, alias biadab.
Kita harus merevitalisasi Pendidikan di Indonesia ini dengan Pendidikan Karakter dan Adab agar peserta didik tidak hanya sekadar berprestasi di akademiknya saja tetapi memiliki akhlak yang baik, berbudi pekerti dan berlaku santun terhadap siapapun. Sehingga menjadikan generasi muda Indonesia menjadi generasi yang produktif dalam membangun bangsa ini menjadi lebih baik lagi.
[1] Hasib, K. (2014). Konsep al-Attas tentang Adab. Pemikiran dan Peradaban Islam, 58-59.
 [2] Muckhlis N, S. d. (2015). Merangkai Mozaik Indonesia. Surabaya: Pustaka Saga.
[3] Husaini, D. (2012). Pendidikan Islam: Membentuk manusia berkarakter dan Beradab. Jakarta: Cakrawala Publishing.
[4] Hasib, K. (2014). Konsep al-Attas tentang Adab. Pemikiran dan Peradaban Islam, 58-59.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/11/06/76599/merevitalisasi-pendidikan-indonesia-dengan-pendidikan-karakter-dan-adab/#ixzz3qfYKt8OW 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Rabu, 04 November 2015

Menjadi Guru Syuhada

Arifah Suryaningsih, S.Pd. *           
Di dunia ini, dari banyaknya jumlah manusia hanya sedikit saja dari mereka yang sadar. Dari sedikit yang sadar itu hanya sedikit yang ber-Islam. Dari sedikit yang ber-Islam itu hanya sedikit yang berdakwah. Dari mereka yang berdakwah lebih sedikit lagi yang berjuang. Dari mereka yang berjuang sedikit sekali yang bersabar. Dan dari mereka yang bersabar hanya sedikit sekali dari mereka yang sampai akhir perjalanan�
�Waktu yang ada  jauh lebih sedikit dari tugas yang harus kita selesaikan dengan sempurna�
-Hasan Al Banna �

Kutipan dari seorang guru dan juga seorang reformis sosial dan politik Islam Mesir pada tahun 1930an tersebut sekedar mengingatkan kita, bahwa tidak banyak orang yang mau berjuang untuk berdakwah/mengajar hingga mencapai pengorbanan yang seutuhnya, sepenuh hati dan berkonsep syuhada (ikhlas berjuang sampai akhir hayatnya).

Fenomena ini terjadi juga di Indonesia, terutama mengenai sistem pendidikan dan kinerja guru, bahwa guru kita tidak loyal, masih sekedar mengejar materi dan kurang memberi dampak bagi pendidikan, banyak yang kurang kompeten, ditambah lagi dengan munculnya kabar bahwa sistem pendidikan kita masih pada posisi terendah dunia berdasarkan tabel liga global yang diterbitkan oleh firma pendidikan Pearson yang memadukan hasil tes internasional dan data seperti tingkat kelulusan antara tahun 2006 dan 2010. Sir Michael Barber, penasihat pendidikan utama Pearson, mengatakan, peringkat tersebut disusun berdasarkan keberhasilan negara-negara memberikan status tinggi pada guru dan memiliki "budaya" pendidikan. (Kompas.com, Selasa, 27 November 2012).

Masyarakat kita seakan mengalami krisis kepercayaan terhadap sistem pendidikan kita. Padahal rasio jumlah guru berbanding jumlah peserta didik di Indonesia merupakan yang "termewah" di dunia, yaitu sekitar 1:18. Akan tetapi, angka rasio itu tidak diimbangi dengan sistem pendistribusian yang cukup baik. Kurangnya tenaga guru di berbagai daerah dipicu oleh sistem yang kurang baik dalam pendistribusian guru (Kompas.com, Kamis, 24 November 2011).

Ditengah terjadinya krisis kepercayaan tersebut, muncullah program-program yang seakan menjawab permasalahan tersebut. Seorang Anis Baswedan menggulirkan program Indonesia mengajar, program pengiriman pengajar muda berprestasi ke seluruh pelosok negeri yang dimulai pada awal 2010 itu kini telah bermitra dengan 17 pemerintah kabupaten yang tersebar di 16 provinsi di Indonesia. Selanjutnya ada juga program SM3T(Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan tertinggal) dari Kemendikbud, yaitu program pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi dalam percepatan pembangunan pendidikan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal di Indonesia, selama satu tahun, dan akan dilanjutkan dengan Program Pendidikan Profesi Guru. Pengiriman peserta SM3T telah dilakukan dua angkatan. Angkatan pertama sebanyak 2479 orang. Sedangkan angkatan kedua sebanyak 2726 peserta telah diberangkatkan untuk masa pengabdian November 2012 � Oktober 2013. (www.kopertis12.or.id)

Pada dua contoh program-program peduli pendidikan tersebut, dapat kita temukan insan-insan muda yang mempunyai jiwa pendidik yang luar biasa. Apa yang mereka lakukan bukan sekedar dongeng atau cerita epic tentang kepahlawanan seorang guru yang sering kita dengar. Peserta sarjana pendidikan ini tidak menolak tugas apa saja, mereka tidak sekedar mengajar di kelas, namun juga memotret pendidikan di daerahnya, menginspirasi anak-anak pedalaman agar mau kembali bersekolah, berkoordinasi dengan dinas dan pemerintah setempat terkait soal fasilitas. Itulah sekilas kegiatan nyata yang mereka lakukan, dengan kesadaran, kemauan, tekad serta semangat muda yang masih berkobar, mereka rela �berdarah-darah� untuk kemajuan pendidikan negeri ini.

Bukan materi, penghargaan dan pujian yang mereka cari, bukan juga nama besar yang ingin mereka ukir, mereka hanya tahu dan sadar, bahwa negeri ini masih harus diperjuangkan. Peristiwa terbaliknya kapal boat yang mengakibatkan meninggalnya dua orang guru peserta program SM3T, Winda Yulia dan Geugeut Zaludio disaat menjalankan tugasnya di SMP Negeri 2 Simpang Jernih di Melidi, Aceh Timur,  membuka mata hampir semua orang, bahwa mereka ada, mereka berjuang sampai titik darah penghabisan. Kedua alumnus berprestasi dari UPI Bandung ini adalah syuhada-syuhada muda yang rela meninggalkan �dunia indahnya� untuk mendidik.

Mereka berdua, bersama dengan ribuan pendidik muda lainnya, telah memberikan kemampuan serta performa terbaiknya bagi anak-anak di daerah-daerah yang �terlupakan�. Mereka adalah sarjana-sarjana terbaik dari berbagai penjuru tanah air. Mereka terpanggil untuk menjadi pendidik yang ikut membantu mencerdaskan kehidupan bangsa ini melalui langkah nyata di bidang pendidikan. Selanjutnya mungkin kita akan bertanya, ada berapa guru kita yang juga mempunyai jiwa Syuhada seperti itu di negeri ini?

Jumlah anak-anak muda hebat itu tidak banyak, bahkan nama merekapun tidak termasuk dalam daftar hitungan jumlah guru yang tersebar di seluruh tanah air ini, karena Program Pendidikan Profesi Guru pun belum juga mereka jalani untuk kemudian bisa menjadi syarat dan bisa disebut sebagai guru profesional. Namun tidak seorangpun meragukan keprofesionalan mereka sebagai pendidik. Kenyataan ini seharusnya menjadi sebuah tamparan hebat bagi para penyandang guru profesional, untuk bisa tersadar, karena hal ini bukan hanya retorika jika semua guru mau bercermin, mawas diri, dan instropeksi. Bahwa jiwa syuhada perlu dihadirkan di dalam diri setiap guru.

Bahwa mendidik itu bukan sekedar di bibir, tapi juga di hati. Anak-anak kita adalah manusia, dimana masih kepada gurulah pendidikan ini bertumpu. Meskipun sistem pembelajaran telah berkembang sedemikian pesatnya dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi, peran guru tidak dapat dihilangkan begitu saja. Ia masih tetap menjadi tokoh sentral dan motivator dikelasnya dan juga menjadi harapan munculnya pencerahan dari setiap murid-muridnya. Bangsa ini masih berharap banyak kepada sosok guru, merindukan guru yang hebat, yang siap berjuang untuk memberi arti kepada setiap generasi.

Apa yang telah dilakukan oleh anak-anak muda itu seharusnya menjadi cambuk dan pencerminan untuk semua guru dinegeri ini, bahwa jika 2,7 juta guru sanggup dan mau untuk bersyuhada dalam profesinya, generasi emas yang kita impikan bersama akan tercetak pada dekade dimana merekalah yang akan memimpin negeri ini. Ramalan Mc-Kinsey tentang kejayaan Indonesia pada tahun 2030 akan menjadi sebuah kenyataan yang benar-benar terjadi.

Semua itu bukanlah hal yang mudah. Banyak resistansi yang akan terjadi ketika perubahan harus dilakukan. Dimana perjuangan dan kesadaran untuk menghilangkan hambatan itulah yang kini harus mulai dilakukan. Apalagi guru sekarang (baca: guru bersertifikasi) adalah sebuah profesi yang tidak dipandang sebelah mata, perhatian pemerintah akan nasib guru dan juga fokus pembangunan pada pendidikan telah menciptakan zona nyaman pada sisi kesejahteraan guru. Sudah sepatutnya guru mengeluarkan segenap potensinya untuk membangun negeri ini, membangkitkan negeri ini dari keterpurukan yang panjang. Guru adalah ujung tombak keberhasilan tersambungnya tongkat estafet kepemimpinan negeri yang lebih bermartabat.
Penulis adalah Pengurus Harian IGI (Ikatan Guru Indonesia) cabang DIY, sedang menempuh pendidikan pada Manajemen Kepengawasan Pendidikan di MM UGM.

Posting: 03 Jan 2013

Rabu, 28 Oktober 2015

Pendidikan Inklusif


Pendidikan Inklusif

  L
ANDASAN FILOSOFIS :
Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang didasari semangat terbuka untuk merangkul semua kalangan dalam pendidikan. Pendidikan Inklusi merupakan Implementasi pendidikan yang berwawasan multikural yang dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menhargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis.

Adapun filosofi yang mendasari pendidkan inklusi adalah keyakinan bahwa setiap anak, baik karena gangguanperkembangan fisik/mental maupun cerdas/bakat istimewa berhak untuk memperoleh pendidikan seperti layanya anak-anak “normal” lainnya dalam lingkungan yang sama (Edicaion for All ). Secara lebih luas, ini bias diatikan bahwa anak-anak yang “normal” maupun yang dinilai memiliki kebutuhan khusus sudah selayaknya dididik bersama-sama dalam sebuah keberangaman yang ada di dalamnya, sekolah inklusi memainkan peran sebagai. Di sini, mereka tidak semata mengejar kemampuan akademik, tetapi lebih dari itu, mereka belajar tentang kehidupan itu sendiri.


  L
ANDASAN YURIDIS :
1. UUD 1945 pasan 31 yang dijabarkan dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang pemberian warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan;
2, UU No. 29 Tahun 2003, Juga dijelaskan pada UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
3. PP No. 72 Tahun 1997 tentang PLB;
4. SE Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang Rintisan Pelaksanaan Pendidikan terpadu.


  PENGERTIAN PENDIDIKAN INKLUSIF
  1. Pendidikan Inklusif adalah system layangan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusu belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon – Shevin dalam 0 Neil 1994 ).

  2. Sekolah penyelenggara Pendidikan khusus inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan
 kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukugan yang dapat diberikan oleh para guru,agar anak-anak berhasil (Stainback,1980 ).

  ALTERNATIF PENYELENGGARAAN :
Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif terbagi dalam dua jenis :
1. Sekolah Biasa/sekolah umum yang mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus,
2. Sekolah Luar Biasa/Sekolah Khusus yang mengakomodasi anak normal.

Adapun alternative Layanan Pendidikan Inklusif biar dilakukan antara lain dengan :
1. Kelas Biasa Penuh
2. Kelas Biasa dengan Tambahan Bimbingan di Dalam
3. Kelas Biasa dengan Tambahan Bimbingan di Luar Kelas.
4. Kelas Khusus dengan Kesempatan Bergabung di Kelas Biasa,
5. Kelas Khusus Penuh
6. Sekolah Khusus, dan
7. Sekolah Khusus berasrama


TAHAPAN PENERAPAN PENDIDIKAN INKLUSIF
 
1. Sebelum menerapkan inklusi ,sebaiknya sekolah sudah
  penerapan terlebih dahulu prisip-prisip MBS dengan tiga pilar utama: menagemen sekolah yg tranparan, akuntable dan demokarif; PAKEM dan optimalisasi peran serta masyarakat.
 2. Kepala sekolah,guru,komite, dan orangtua mendapatkan pemahaman apa, bagaimana, mengapa konsep inklusi perlu di terapkan.
 3. Kepala sekolah dan guru (yang nantinya akan menjadi GPK=GURU pembibing Khusus) harus mendapatkan pelatihan bagaimana menjalankan sekolah inklusi.
 4. GPK mendapatkan pelatihan teknis memfasilitasi anak ABK.
 5. Asesmen di sekolah dilakukan untuk mengatahui anak ABK.
 6. Sekolah melakukan motivasi dan penjaringan di masyarakat agar anak ABK yang belum masik sekolah mendapatkan pendidikan secara seimbang dengan memasukannnya ke sekolah inklusi.
 7. Pengadaan aksesiblilitas ( sarana dan prasarana bagi ABK)sesuai kemampuan sekolah.
 8. Menyelenggarakan pembelajaraan inklusi.
 9. Mengadakan Bimbingsn khusus atas kesepahaman dan kesepatandengan orangtua ABK.

KENAPA PENDIDIKAN INKLUSI HARUS DIPROMOSIKAN DAN DITETAPKAN:
 1. Semua anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
  pendidikan yang bernutu dan tidak didiskriminasikan
 2.semua anak mempunyai kemampuan untuk mengituki pelajaran tanpa melihat kelainan dan kecepatan
 3.perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu
  pembelajaran bagi semua anak
 4.sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merepon dari kebutuhan pembelajaran yg berbeda.

• SISI POSITIF PENDIDIKAN INKLUSI :
1.membangun kesadaran dan consensus pentingnya
  pedidikan influsi sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yg diskriminatif
2.melimbatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan
  local,memgumpulkan infomasi
3.Semua anak pada setiap sistrit dan mengidintifikasi
  alas an mengapa mereka tdk sekolah
4.mengindenfikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik,social,dan masalah lainnya terhadap akses dan
  pembelajaran
5.melibatkan masyarakat dalam melakukan perecanaan
  dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak

HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN SEKOLAH
 PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF

 1.sekolah harus menyediakan kondisi kelas yg hangat,
  ramah menerima keanekeragaman menghargai
  perbedaan.
 2.Sekolah harus siap mengelola kelas yg heteogen dengan
  menerapan kurikulum dan pembelajaran yg bersifat
  individual
 3.guru harus menerapkan pembelajaran yg interatif
 4.guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profisi atau
  sumberdaya lain dalam perecanaan,pelaksanaan dan evaluasi
 5.guru dituntut melimbatkan orangtua secara bermakna dalam
  proses pendidikan

GURU PAI HARUS MENJADI "IMAM"

GURU PAI HARUS MENJADI "IMAM"
Foto
CIREBON, Peningkatan kompetensi guru PAI konsisten dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Agama Islam. Sebagaimana terselenggaranya Bimbingan Teknis (Bimtek) Kurikulum 2013 pada tanggal 13 - 15 Mei 2015 di Cirebon. Melalui kegiatan yang menekankan metode active learning pada pembelajaran PAI tersebut diharapkan mampu mendorong guru PAI untuk menciptakan pembelajaran yang kreatif, sehingga minat terhadap PAI semakin meningkat.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Cirebon, Drs, H. Masykur, M.Pd. yang turut hadir mendukung terselengaranya kegiatan tersebut. Menurutnya, Kurikulum 2013 menunjukan proses pembelajaran yang efektif. Meskipun saat ini Kurikulum 2013 dihentikan untuk sementara dan dikembalikan ke Kurikulum 2006, namun kurikulum 2013 sudah disosialisasikan di wilayah Cirebon dan hampir setiap guru pernah mendapatkan pelatihan. Dengan demikian, ia menegaskan bahwa substansi Kurikulum 2013 harus dan dapat dilaksanakan. "Jangan berfikir cara menilainya, tapi bagaimana prosesnya", tegas Masykur.

Dalam paparannya, Kasubdit PAI pada SMP, Dr. H. Nifasri M Nir M.Pd, menyatakan bahwa Kurikulum 2013 memiliki arti penting bagi PAI, sehingga pelaksanaannya harus dipahami dengan baik. Terkait dengan pemberlakuan implementasi Kurikulum 2013 yang dihentikan sementara, pihak Kemenag tetap memperhatikan bahwa konstruksi pembelajaran pada Kurikulum 2013 tetap penting untuk dipahami oleh guru PAI, sehingga kegiatan ini tetap penting untuk dilaksanakan.

Direktur Pendidikan Agama Islam, Dr. H. M. Amin Haedari, M.Pd pada kesempatannya menyatakan bahwa Kurikulum 2013 memiliki arti penting bagi PAI karena membawa semangat baru terhadap pembelajaran yang optimal. Semangat tersebut antara lain adalah terwujudnya PAI yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian kompetensi kognitif, melainkan juga penguatan sikap. Semangat lain yang terkandung adalah perubahan untuk menjadikan PAI lebih diminati. PAI akan kurang diminati jika model pembelajaran yang disajikan kurang variatif.

Melalui pelatihan ini, Amin berharap guru PAI dapat menciptakan pembelajaran PAI yang efektif dan menyenangkan. Ia menjelaskan bahwa visi ke depan tidaklah banyak. Ia hanya berharap guru PAI menjadi "imam" bagi guru lain di sekolah. "Kami hanya ingin menggeser guru PAI dari belakang menjadi ke depan", tegasnya. Dengan kata lain, guru PAI diharapkan mampu menjadi pioner dalam pembelajaran di sekolah. Harapannya, guru PAI dapat diminati sekaligus menjadikan PAI sebagai bagian yang menyenangkan dalam proses pembelajaran di sekolah.

Lebih lanjut, Amin menekankan pentingnya penguasaan metode pembelajaran oleh guru PAI. "Tidak mungkin PAI dapat mendorong keaktifan siswa, jika guru tidak menguasai dan menerapkan active learning," tegasnya. Sebagaimana dalam teori pendidikan, anak kecil dapat berjalan karena dilatih berjalan oleh orang tuanya, bukan karena panduan berjalan. Pada akhir kesempatannya, Amin menegaskan kepada para guru PAI peserta workshop, "Anda merupakan Kontributor pengembangan PAI". [Rudi]

Visiting Guru PAI 2015

Dirjen Pendis Lepas Peserta Visiting Guru PAI
Foto
Jakarta (Pendis) - Di depan 50 peserta terseleksi Program Visiting Guru PAI SD (GPAI SD) Tahun 2015 yang akan diterjunkan ke 25 Kabupaten/Kota di Indonesia, Direktur Jenderal Pendidikan Islam KemenagRI, Kamarudin Amin (26/10/2015) di Jakarta, menyampaikan bahwa para guru PAI akan menjadi "the rising star" di lokasi daerah sasaran. Bintang yang bersinar. Mereka tidak hanya menjadi model bagi guru-guru PAI lain di daerah setempat namun juga memerankan banyak hal atau presentasi dari segala hal, bahkan bisa dianggap sebagai tokoh masyarakat. Karenanya para GPAI SD yang telah lolos seleksi Direktorat PAI untuk bekerja selama seminggu di daerah sasaran hendaknya mempersiapkan diri dan terutama membekali diri dengan banyak hal tak terkecuali bekal mengajar dalam kaitannya pengembangan metode pembelajaran.
Program Visiting GPAI adalah program khusus yang dirancang sebagai salah satu bentuk upaya menghadapi tantangan, namun juga apresiasi dan peluang bagi GPAI untuk membantu Kementerian Agama dalam peningkatan mutu pembinaan dan peningkatan mutu PAI di sekolah. Program ini juga bertujuan membantu percepatan pemerataan kompetensi GPAI dan dapat menjembatani kualitas GPAI yang tersebar di berbagai penjuru wilayah di Indonesia terutama di wilayah 3 T (Terluar, Tertinggal dan Terdalam). Kegiatan ini juga bisa menjadi wadah sharing(berbagi) pengalaman antara guru PAI yang kreatif, inovatif dan inspiratif dengan guru PAIsasaran atau pihak lain yang perlu mendapat pencerahan dalam pengembangan mutu PAI.
Lebih lanjut, setelah menyematkan pin kegiatan kepada peserta Visiting secara simbolis, Kamarudin Amin menyampaikan ucapan selamat bertugas kepada peserta Visiting. Bertugas untuk menjalankan pengabdian kepada agama, bangsa dan anak-anak bangsa. Program Visiting diharapkan tidak hanya membuahkan pengalaman eksotik karena menarik dan memperkaya pengalaman, namun juga mampu mempertajam pengalaman sosiologis di masyarakat.
(wikan/dod)
Diupload oleh : dod (-) | Kategori: Dirjen Pendis | Tanggal: 26-10-2015 21:57

Sumpah Pemuda 2015: Satu untuk Bumi

Wed, 10/28/2015 - 11:17
Jakarta, Kemendikbud --- “Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda, maka akan kugoncang dunia”. Kutipan pernyataan mantan presiden pertama RI  Soekarno itu mengawali sambutan yang dibacakan Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PAUD dan Dikmas) Kemendikbud, Harris Iskandar, dalam upacara peringatan Sumpah Pemuda. Harris  bertindak sebagai Inspektur Upacara Hari Sumpah Pemuda tahun 2015 di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
 
Dalam upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda di lapangan Kemendikbud, Rabu pagi (28/10/2015), Harris membacakan sambutan dari Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi. Harris mengatakan, peringatan Sumpah Pemuda yang ke-87 ini mengambil tema “Revolusi Mental untuk Kebangkitan Pemuda Menuju Aksi “Satu untuk Bumi”.
 
Tema itu didasari atas keprihatinan yang mendalam terhadap dua hal. Pertama, fenomena baru tentang berubahnya pola realisasi masyarakat akibat arus modernisasi dan kemajuan teknologi informasi. Kedua, terkait fenomena pengelolaan sumber daya alam yang belum sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
 
“Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 membuat kita bangga, bahwa pemuda Indonesia telah mengawali sebuah perubahan besar untuk negeri kita ini. Tekad dan keberanian pemuda telah menginspirasi dan menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dideklarasikan,” ujar Harris saat membacakan sambutan.
 
Upacara peringatan Sumpah Pemuda di lingkungan Kemendikbud berlangsung di halaman kantor pusat Kemendikbud, Senayan, Jakarta. Upacara dimulai sejak pukul 08.00 WIB, dan diikuti para pejabat di lingkungan Kemendikbud serta perwakilan pegawai tiap unit utama dengan berseragam Korpri.
 
Selain berlangsung di kantor pusat Kemendikbud, upacara peringatan Sumpah Pemuda juga dilakukan di unit utama dan unit kerja lainnya yang berada di luar kantor pusat. Unit tersebut antara lain Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di Sentul, Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan di Ciputat, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai di Sawangan, dan Museum Nasional di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Barat. (Desliana Maulipaksi)

Selasa, 27 Oktober 2015

Pentingnya Pendidikan Seks di Usia Dini

Pentingnya Pendidikan Seks di Usia Dini

Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)
dakwatuna.com – Kejahatan seksual pada anak belum juga berhenti. Hampir setiap hari kita mendengar berita miris ini. Soalnya, predator anak bergentayangan mencari mangsanya tanpa kenal lelah. Dengan jurus jitu, si penjahat ini mampu menaklukkan korban tanpa terdeteksi sejak dini. Dengan memanfaatkan kepolosan anak, sang pemburu seks ini melancarkan aksinya. Diawali dengan bujuk rayu, memberikan bantuan, harapan, perhatian sampai pada ancaman dan kekerasan, akhirnya korban keganasannya berjatuhan satu persatu. Ironisnya, kejahatan ini baru terbongkar dan pelakunya baru ditangkap setelah puluhan anak menjadi korban kebuasan seksnya. Yang sulit diterima akal sehat, pelaku kejahatan seksual tidak hanya dilakukan oleh orang asing atau orang baru bagi anak akan tetapi juga dilakoni orang terdekat. Tidak satu dua kali kita mendengar kabar, seorang ayah teganya menggagahi anaknya sampai hamil, seorang abang mengganggu adiknya, bahkan seorang kakek menyudahi cucunya. Ayah atau kakek yang sejatinya menjaga dan melindungi anak keturunannya agar selamat dunia akhirat namun justru ikut serta merusak diri dan masa depan anak cucunya. Sudah separah inikah negeri ini hingga tidak ada orang yang dapat dipercaya lagi untuk melindungi diri seorang anak. Hal inilah yang membuat orang tua (khusus ibu) merasakan kecemasan dan ketakutan atas keselamatan anaknya dari kejahatan seksual.
Memang banyak penyebab merajalelanya perbuatan yang abnormal ini. Di samping penyimpangan seksual yang dimiliki oleh orang bejat itu, juga disebabkan tidak adanya ketahanan dan pembelaan diri anak atas kejahatan seksual yang dilancarkan orang lain pada dirinya. Kondisi ini bisa terjadi karena sangat terbatasnya bahkan tidak adanya pengetahuan seks yang dimiliki anak sebagai bekal untuk mempertahankan dan menyelamatkan diri. Makanya banyak para pemerhati keselamatan anak dan penggiat perlindungan anak mengampanyekan pentingnya pendidikan seks pada anak sejak usia dini. Edukasi ini dilakukan agar anak memiliki pengetahuan tentang diri dan organ seksnya serta cara melindungi diri sehingga bisa terjaga dari orang-orang yang berniat jahat pada dirinya.
Pendidikan seks yang ditanamkan sejak dini akan mempermudah anak dalam mengembangkan potensi dirinya, meningkatkan harga dan kepercayaan diri, memiliki kepribadian yang sehat, dan penerimaan diri yang positif serta pertahanan diri dari marabahaya. Di sinilah peran orang tua benar-benar penting dan menentukan, karena merekalah yang paling mengenal diri dan kebutuhan anaknya. Ayah bunda yang lebih mengetahui perubahan dan perkembangan anak setiap saat. Di samping juga orang tua yang paling dekat dan memahami karakter anaknya. Dengan demikian orang tua bisa memberi pendidikan seks secara alamiah sesuai tahapan-tahapan perkembangan anak yang menjadi tanggungannya.
Dalam menyampaikan pendidikan seks pada anak tidak bisa secara instan namun memerlukan waktu yang lama dan berkesinambungan. Orang tua harus sabar dalam memerankan tugas ini sehingga anak dapat mengerti dan memahami apa yang disampaikan padanya. Dengan bahasa yang mudah dipahami dan dengan pendekatan pribadi, orang tua dapat menyampaikan hal-hal prinsip berkaitan dengan seks yang harus diketahui anak. Di sinilah kepiawaian orang tua dalam melaksanakan pendidikan seks pada anaknya dalam keluarga. Sebagai unit terkecil dan pertama maka keluarga harus dapat memenuhi kebutuhan anaknya termasuk dalam hal pendidikan seks. Makanya paradigma yang menyatakan bahwa pendidikan seks pada anak usia dini merupakan suatu hal yang tabu hendaknya segera dihapus dalam kamus pikiran orang tua. Dengan demikian orang tua akan dapat melaksanakan tugas ini dengan baik dan benar tanpa terbebani.
Ada beberapa prinsip dasar yang harus diberikan orang tua pada anaknya berkaitan dengan pendidikan seks pada usia dini. Pertama, orang tua harus memperkenalkan bagian tubuh penting yang dimiliki anak (maksudnya alat vital) beserta fungsinya. Orang tua harus mampu mengemukakan pada anak agar dapat menjaga dan memelihara alat vital tersebut dari gangguan dari siapa saja. Sejak dini orang tua sudah menggambarkan pada anak bahwa alat vital dan bagian tubuh lainnya yang sensitif merupakan aurat yang harus dijaga dan ditutup rapat. Tidak boleh satu orang pun yang boleh melihat apalagi meraba alat tersebut karena akan menimbulkan bahaya besar bagi dirinya. Anak diajarkan agar jangan membiarkan bagian tubuhnya seperti bibir, dada, paha, dan kemaluannya dipegang dan diraba orang lain. Apabila hal ini terjadi maka si anak diminta menghindar atau melawan untuk keselamatan dirinya.
Kedua, orang tua harus menanamkan rasa malu pada anak sejak usia dini. Sifat ini akan membantu anak dalam menjaga dan memelihara aurat atau kehormatannya. Anak yang sudah mulai memahami hal ini sesuai dengan usianya akan mampu menjaga dirinya, seperti tidak akan buang air kecil dan besar di tempat terbuka, menukar pakaian di hadapan orang lain dan tidak menampakkan auratnya. Sering terjadi kejahatan seksual pada seorang anak disebabkan oleh tidak rapinya pakaian anak sehingga bagian tubuhnya kelihatan. Sekalipun berada dalam rumah, anak perempuan tetap hendaknya memakai pakaian yang sopan dan yang tidak merangsang. Ini sebagai antisipasi terjadinya kejahatan seksual dari kalangan keluarga terdekat.
Ketiga, mengajarkan pada anak tata krama dalam pergaulan atau pertemanan sejak usia dini. Anak laki-laki sebaiknya bermain dengan anak laki-laki. Demikian juga dengan anak perempuan hendaknya bermain sesama perempuan juga. Apabila hal ini sudah ditanamkan sejak usia dini maka tentu anak perempuan akan risih dan tidak nyaman sekiranya ada laki-laki dewasa asing yang mendekati dirinya apalagi sampai melakukan sesuatu yang tidak diingini seperti memegang bagian tubuh, mengelus dan merabanya bahkan lebih dari pada itu. Sering kejahatan seksual menimpa anak ketika dirinya membiarkan orang lain meraba tubuhnya .
Keempat, orang tua harus memisahkan tempat tidur atau kamar anak laki-laki dengan anak perempuan. Hal ini mengajarkan bahwa memang anak laki-laki dengan anak perempuan itu berbeda kodrat dan organ tubuhnya. Masing-masing anak memiliki spesifik tersendiri dan hal yang berbeda baik dari segi fisik maupun dari sisi psikisnya. Dengan pemahaman ini, anak akan berusaha tampil sesuai dengan identitasnya. Makanya, orang tua harus memberikan mainan atau pakaian sesuai dengan jenis kelamin anaknya seperti mobilan untuk laki-laki dan boneka untuk perempuan atau laki-laki dengan celana panjangnya dan anak perempuan dengan rok dan jilbab manisnya.
Kelima, orang tua harus menjaga tontonan anak. Orang tua harus mampu mengedukasi anaknya tentang film atau drama yang layak ditontonnya. Orang tua tidak bisa memberikan kebebasan pada anak dalam hal menonton dan menyaksikan siaran televisi. Pasalnya, tak jarang kejahatan atau pelecehan seksual justru dilakukan seorang anak di bawah umur berawal dari tontonan yang tidak benar. Kita tentunya pernah mendengar anak laki-laki yang masih duduk di bangku SD memperkosa adiknya atau teman perempuannya. Oleh karena itu, dengan mendampingi anak dalam menonton dan memilih tontonan yang sehat maka anak akan terhindar dari melakukan kejahatan seksual.
Redaktur: Ardne


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/10/17/75971/pentingnya-pendidikan-seks-di-usia-dini/#ixzz3ppukAJrq 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Senin, 26 Oktober 2015

Urgensi Pendidikan Agama, Dalam Membentuk Karakter Sosial Anak

Urgensi Pendidikan Agama, Dalam Membentuk Karakter Sosial Anak

Ilustrasi. (Heriyanto)
Ilustrasi. (Heriyanto)
dakwatuna.com – Pendidikan yang saat ini meluap di negara kita sudah bukan lagi pendidikan yang hanya untuk dipandang sebelah mata saja, melainkan kita harus berusaha dan bertekad untuk lebih memajukannya. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang hanya menekankan atau menitikberatkan pada kecerdasan intelektual saja akan membuat anak didik jauh dari masyarakatnya. Ini dikarenakan setiap peserta didik memiliki kemampuan yang berbeda-beda, tetapi di sisi lain tetap harus diperlakukan secara adil. (Pepi Nuroniah, 2015)
Dalam sistem pendidikan di negara kita, pendidikan agama merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan. Penitik-beratan pendidikan pada kecerdasan intelektual akan membuat ketidakseimbangan dalam menanamkan nilai sosial pada peserta didik. Oleh karena itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Siddik “Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat.”.
Maka menyeimbangkan potensi anak dalam sisi kecerdasan intelektual dan spiritual akan menjadikan peserta didik memiliki nilai sosial dalam masyarakat. Salah satu caranya adalah internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan. Lanjut M. Siddik “Bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat”.
Menurut Pepi Nuroniah dalam 1000 guru mengatakan, ada beberapa beberapa elemen yang cukup berpengaruh dalam proses pendidikan. Pertema, Keluarga ; apa yang sering dikatakan orang tua akan menjadi sugesti yang akan terus terbawa hingga ia mampu memahami segala hal yang terjadi di sekitarnya, hingga ia mampu mengontrol emosi dan alam bawah sadar yang akan terus mengontrol tindakannya. Sosialisasi yang baik dari keluarga akan memberikan manfaat yang sangat baik.
Kedua, Teman atau Sahabat ; teman yang baik akan memberikan pengaruh yang baik pula pada kepribadian kita, akan sangat berpengaruh terhadap pendidikan-pendidikan kecil yang akan kita peroleh. Setelah keluarga, kita akan sering bertemu dan bergabung dengan seorang teman, sebagai tempat berinteraksi, dan bertukar pendapat. Sebagai contoh, ketika dalam satu kotak terdapat dua buah kertas, kertas A kita coba untuk sirami sebuah tinta maka kemungkinan besar kertas B juga akan ikut terkena juga, bukan? Nah, seperti itulah 2 buah kertas sama dengan seseorang yang selalu bersama-sama dan ia akan saling mempengaruhi satu sama lain.
Ketiga, Media ; media yang dimaksud di sini adalah media massa. Seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, segala hal yang sering kita saksikan akan menjadi acuan. Sebab, apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan tanpa sadar akan mempengaruh diri kita. Maka dari itu kita harus cerdas dalam menggunakan media dan memanfaatkannya.
Ilmu itu tidak hanya dari pembelajaran yang dijelaskan oleh seorang guru, baik itu di sekolah, di kampus atau bahkan penjelasan yang terus dijelaskan oleh atasan kepada bawahannya di tempat kerja, melainkan lebih dari itu. Sebab itulah urgensi mendidik anak di era informasi dan teknologi ini tidak cukup hanya memberikan pengetahuan yang bresifat kognitif saja, tapi juga harus berbasis pada tatanan sosial kemasyarakatan, dengan cara menambahkan forsi pendidikan agama di sekolah.
Membekali karakter sosial kemasyarakatan anak dalam agama Islam sendiri telah memiliki dua elemen sebagai pilar dasarnya, antara lain: Pilar pertama yaitu kepedulian, hal ini diterangkan dalam hadist Nabi Saw Tidaklah sempurna iman seseorang yang bermalam dalam keadaan kenyang sedang tetangganya kelaparan. (HR. Ibnu Abi Syaibah, dalam kitab iman, dari sahabat Ibnu Abbas no. 29748)”.
Pilar kedua adalah kejujuran, prihal sikap jujur, Nabi Saw telah menerangkan dalam hadistnya “Hendaklah kamu berpegang kepada kejujuran, karena kejujuran itu akan membawa kebaikan, dan kebaikan itu akan membawa kepada surga (kebahagiaan), dan hendaklah tetap seseorang itu bersifat jujur dan memilih kejujuran hingga ia tertulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Jauhilah olehmu dusta, karena dusta itu akan membawa kepada keburukan dan keburukan itu akan membawa ke neraka (kehancuran…”
Aries Musnandar pernah menyinggung pendidikan untuk anak yang hanya memfokuskan pada sisi intelektual. Ia mengatakan “sepatutnya, mendidik dan membentuk karakter anak didik kita jangan disamakan atau diidentikkan dengan kegiatan industri dalam memproses raw material menjadi finished goods, Hal ini mengingat anak sebagai manusia merupakan makhluk unik, penuh misteri dan dinamis (umm,2014)”.
Akhirnya kita semua bersepakat, bahwa landasan membentuk karakter dasar anak dalam pendidikan, tidak cukup hanya dengan mengembangkan kecerdasan Intelectual saja. Tapi harus pula diimbangi dengan kecerdasan spiritual, melalui implementasi pandidikan agama yang sungguh-sungguh oleh semua pihak di lingkungan sekolah ataupun lingkungan masyarakat.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/07/31/72442/urgensi-pendidikan-agama-dalam-membentuk-karakter-sosial-anak/#ixzz3pk7KBjpG 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Movie Learning Sarana Efektif Menanamkan Akhlak Mulia Pada Anak

Movie Learning Sarana Efektif Menanamkan Akhlak Mulia Pada Anak

(Heri Yanto)
(Heri Yanto)
dakwatuna.com – Setiap orang punya cara masing-masing dalam memberikan pendidikan yang baik kepada anak, namun tidak semua cara itu baik, sebab tingkat penerimaan anak-anak berbeda-beda, sehiingga orang tua atau seorang pendidik memerlukan cara yang ideal sehingga anak atau peserta didik mampu menerima dengan baik walaupun kemampuan menyerapnya berbeda-beda, yang harus diperhatikan adalah apa yang paling disenangi oleh anak-anak, karena ketika anak menyenangi sesuatu itu maka akan mudah untuk menerimanya, misalnya anak senang kalau diajak bermain, maka seorang pendidik atau orang tua harus mengikuti kemauan anak itu sendiri, namun pada prosesnya seorang pendidikan harus bisa memadukan nilai edukasi dengan permainan yang dilakukan, selain yang saya sebutkan di atas banyak cara lainnya seperti mendongeng, bernyanyi, menonton dan lain-lain.
Nah yang paling sering kita temui saat ini adalah hampir semua anak-anak suka menonton tidak terkecuali sinetron atau acara-acara lainnya yang ditayangkan di televisi, yang kebanyakan tidak mengandung nilai Edukasi, namun berbeda dengan yang akan saya uraikan kali ini, media televisi, laptop atau media elektronik lainnya justru baik untuk mendidik anak serta menanamkan Akhlak mulia terutama bagi anak-anak usia dini, seperti halnya yang dilakukan oleh Relawan Pendidikan Sekolah Guru Indonesia dalam Program Ramadhan Ceria yang digelar di empat Kecamatan Pandeglang Banten dalam program MARAKCIIS (Masyarakat Cinta Islam).
Selama 18 hari sejak memasuki hari ketiga bulan ramdhan sampai saat ini Para Relawan SGI daerah penempatan Pandeglang Banten menggelar berbagai kegiatan salah satunya adalah MABIT (Malam Bina Iman dan Taqwa) untuk anak-anak Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar yang ada di kabupaten Pandeglang, dalam kegitan yang dilaksanakan sehari semalam di tiap tempat itu ditargetkan anak-anak mampu memahami materi yang disampaikan hanya dalam hitungan menit dengan menggunakan model yang sangat efektif dan cukup menarik perhatian anak-anak, adapun model pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan singkat tersebut adalah memutarkan film islami.
Namun cara menontontonnya pun tidak seperti pada umumnya, yaitu anak-anak diputarkan film dan dibiarkan nonton sendiri, tapi cara menonton kali ini cukup unik, siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok dan duduk dengan rapi sesuai instruksi yang diberikan pemandu, sebelum kegiatan dimulai pemandu memberikan beberapa pertanyaan yang akan dijawab oleh siswa selama proses menonton berlangsung, masing-masing siswa memegang buku tulis untuk mencatat beberapa pertanyaan dari pemandu, kemudian dari pertanyaan tersebut siswa harus menemukan jawabannya di dalam film yang ditonton, sebelum film diputar siswa diberi beberapa perturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama, seperti siswa harus duduk dengan tertip serta tidak boleh membuat keributan yang bisa mengganggu temannya yang lain, ketika kesepakatan sudah dibuat para guru duduk mendampingi siswa menonton hingga selesai.
Film yang diputar dengan durasi yang cukup singkat 5-6 menit, hal ini dilakukan untuk membatasi agar siswa tidak jenuh dan bosan, film diputar dalam dua tahapan, tahap pertama film diputar dengan 3 judul dan siswa harus mencatat hal-hal yang dianggap penting, untuk menguji kemampuan siswa pemandu melanjutkan dengan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan film yang ditonton, selama sesi tanya jawab berlangsung siswa tidak diperkenankan untuk membuka buku, bagi siswa yang mampu menjawab dengan benar diberi reward berupa coklat, setiap judul film dibatasi pertanyaanya satu sampai dua, setetelah itu baru dilanjutkan dengan judul berikutnya hingga selesai, dan kembali dilanjutkan dengan pertanyaan.
Cara ini cukup efektif dalam menanamkan akhlak mulia kepada anak lewat media, sebab cara menonton seperti ini siswa tidak sekadar melihat keseruannya dan mengetahui alur ceritanya saja, namun mereka benar-benar mampu memahami makna serta isi yang terkandung dalam cerita film tersebut, hal ini ditunjukkan dengan partisipasi aktif anak-anak dalam menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh pemandu.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/07/30/72423/movie-learning-sarana-efektif-menanamkan-akhlak-mulia-pada-anak/#ixzz3pk3utzU1 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook