Sabtu, 23 Mei 2015

Enam Kunci Kebangkitan Umat

Enam Kunci Kebangkitan Umat

Renungan Nuzul Al-Quran
“Akan datang suatu masa dimana umat Islam seperti makanan yang dikerubuti lalat, padahal jumlahnya merupakan mayoritas.” (Hadis Nabi)
Kondisi umat Islam saat ini tampaknya telah sesuai dengan apa yang disabdakan Rasulullah Saw. dalam Hadis di atas. Umat Islam saat ini berada dalam situasi kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Umat Islam tertindas oleh kaum minoritas yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam situasi terpuruk dan ketlingsut di “ketiak” peradaban dan sejarah, umat Islam sebenarnya telah diingatkan oleh Allah tentang kondisinya dalam Al-Quran surah Al-Muddatstsir ayat 1 sampai 7 (tulisan berikut akan mengurai beberapa kunci sukses yang harus dimiliki umat Islam mengacu pada surah Al-Muddatstsir ayat 1 sampai 7 tersebut).
Kunci Kesuksesan Pertama
Surah Al-Muddatstsir ayat 1 sampai 7 turun ketika Rasulullah sedang bertahanus (meditasi) di gua Hira. Waktu itu tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkan Rasulullah dan mengakibatkan tubuhnya bergetar hebat. Rasulullah lalu pulang dengan keringat dingin yang bercucuran. Ia mendatangi istrinya, Khadîjah, sambil berkata terbata-terbata, “Selimutilah aku dengan selimut yang tebal dan basahilah tubuhku dengan air dingin.” Saat itulah turun ayat “Yâ ayyuhal-muddatstsir. Qum fa andzir…” (Hai orang yang berselimut. Bangkitlah dan berilah peringatan…).
Ayat itu memang dialamatkan kepada Rasulullah untuk disampaikan kepada semua umat (Islam). Ayat itu sangat kontekstual dengan kondisi umat Islam saat ini. Umat Islam dihimbau untuk bangkit dari tidur panjang (atau mimpi dogmatis)-nya yang membuatnya terjerembab dalam jurang kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan penindasan.
Umat Islam telah lama “berselimut”; tubuhnya terbungkus kaku, kaki dan tangannya terikat, matanya tertutup, mulutnya terbungkam, dan hidungnya tak dapat menghirup udara untuk bernafas.
Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari luar maupun dari dalam. Faktor dari luar itu bisa berupa penjajahan politik, sosial, budaya, dan ekonomi dari negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Penjajahan oleh negara-negara Barat terhadap umat Islam terus berlangsung karena umat Islam masuk dalam perangkap ketergantungan ekonomi yang mematikan.
Adapun, faktor dari dalam adalah yang berasal dari kondisi umat Islam itu sendiri. Umat Islam telah lama berada dalam situasi perpecahan, krisis keimanan, dan kehilangan kepercayaan diri sebagai khaira ummah (sebaik-baik umat).
Agar selimut itu tersingkap, Allah menyuruh umat Islam untuk “qum!”, yakni berdiri, bangkit, tegak, mandiri, dan melepaskan diri dari kebodohan, keterbelakangan, ketergantungan, dan penindasan.
Setelah meraih kemandirian, barulah umat Islam mampu memberi peringatan, melontarkan kritik, mengoreksi kekurangan dan kelemahan, melontarkan saran dan anjuran berharga, serta membangun kekuatan yang sehat, kukuh, dan produktif. Umat Islam pun lalu mampu mengontrol hal-hal yang tidak baik dan destruktif.
Agar bisa keluar dari selimut kege!apan, kesulitan, dan kebodohan, sekali lagi, umat Islam harus benar-benar mandiri dan tidak tergantung pada kaum kafir yang licik, tamak, dan imperialistik. Setelah berdiri tegak di atas kaki sendiri, umat Islam pun mampu melaksanakan amanat sebagai khaira ummah yang menghimbau semua umat manusia untuk melaksanakan kebaikan dan menjauhi/mencegah segala bentuk kemungkaran.
Umat Islam kadang berteriak lantang melawan segala bentuk kezaliman. Tetapi, karena mereka belum mampu mandiri dan belum mampu berdiri tegak di atas kaki sendiri, maka kezaliman itu pun tak kunjung hancur. Alih-alih menghancurkan kezaliman, umat Islam—sadar atau tidak—justru masuk perangkap kezaliman itu sendiri. Sungguh, hal ini merupakan kenyataan yang ironis dan memprihatinkan.
Jika Nabi Ibrahim mengayunkan kapaknya untuk menghancurkan rezim Namruz yang kafir dan zalim; maka umat Islam pun juga mengayunkan kapaknya, tetapi bukan untuk meruntuhkan para penguasa (baca: rezim politik dan rezim ekonomi) yang kafir dan zalim, melainkan untuk mengolah “hutan” kemewahan milik para “Namruz” modern.
Jika ingin keluar dari kegagalan dan keterpurukan, guna meraih kesuksesan, maka kunci pertama yang harus dimiliki umat Islam adalah “mandiri” barulah memberi “peringatan” (bisa juga diinterpretasikan secara terbatas sebagai berdakwah). Dua hal itu seharusnya tidak dapat dipisahkan dari tubuh umat Islam, yaitu kemandirian dan keberanian untuk memberi peringatan (dakwah). Dakwah tanpa kemandirian akan sia-sia, sebaliknya kemandirian tanpa dakwah adalah kehancuran.
Kunci Kesuksesan Kedua
Kunci kesuskesan kedua yang harus dimiliki umat Islam adalah mengacu pada surah Al-Muddatstsir ayat 3 yang berbunyi: “Wa rabbaka fa kabbir” (Dan, agungkanlah Tuhanmu) yang berisi prinsip tauhid dan iman. Ayat ini menjadi fondasi yang paling kuat bagi umat Islam untuk menggapai cita-citanya karena hanya dengan prinsip tauhid dan imanlah umat Islam mampu berjuang dalam medan globalisasi dan modernitas yang penuh tantangan, rintangan, dan godaan.
Dengan mengagungkan Asma Allah, maka diri manusia akan terasa kecil, hina, dan tak berarti karena tiada kebesaran yang menyamai keagungan-Nya, tiada kekuasaan yang menyamai kerajaan-Nya, tiada urusan yang lebih penting kecuali ketaatan kepada-Nya.
Semua yang kita miliki akan fana (lenyap dan binasa) dalam kebaqaan-Nya. Tak ada siapa pun yang perlu ditakuti kecuali Allah. Tak ada harapan kecuali Ridha-Nya. Dan, semua kesulitan, kebingungan, dan penderitaan akan sirna bila jiwa tenteram, hati suci, dan qalbu khusyu’ yang kita miliki telah menyatu dalam kebesaran Allah, Dzat yang Maha Tunggal.
Kunci Kesuksesan Ketiga
Kunci kesuskesan ketiga yang harus dimiliki umat Islam adalah mengacu pada surah Al-Muddatstsir ayat 4 yang berbunyi: “Wa tsiyâbaka fa thahhir” (Dan, bersihkanlah pakaianmu). Menurut Muhammad Thâhir ibn Al-Tsûr, baju yang harus disucikan adalah baju lahir dan batin sekaligus.
Baju “lahir” kita bersihkan dengan cara meningkatkan taraf hidup dan kualitas umat Islam yang pencapaiannya melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi didasarkan semangat “iqra’”, yaitu membaca ayat kauniyah (gerak sejarah, keberadaan alam semesta) dengan metode tafakkur (aktifitas berpikir dan menalar terhadap fenomena alam dan kehidupan), tadabbur (menghayati hikmah di balik ciptaan Tuhan yang Agung), dan tasyakur (mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan Allah, kemudian mengolah dan menggunakannya untuk kemaslahatan kehidupan dan kepentingan seluruh alam).
Dengan metode itu, diharapkan umat Islam mampu menjadi lokomotif kemajuan dan sumber inspirasi yang tak pernah kering demi mewujudkan dunia baru yang sesuai dengan harapan seluruh umat manusia.
Kemudian, baju “batin” kita sucikan dari noda kehidupan, kotoran jiwa, dan debu-debu yang membuat batin kita buram. Karena hanya dengan kesucianlah, ruh amanah dan risalah dapat dijalankan dan tidak mungkin dipegang oleh tangan yang kotor serta jiwa yang berlumur noda dan dosa.
Kunci ketiga itu akan melahirkan pribadi Mukmin yang sejati, thâhirun muthahhirun (suci dan mensucikan), yaitu seseorang yang terus berusaha menjadikan dirinya bersih dari tangan yang berlumur darah maksiat dan mengosongkan hasratnya dari keinginan duniawi dan pujian manusia yang acapkali palsu dan menipu.
Semua itu bisa menjadi modal bagi kita untuk mengajak sesama manusia menjadi pribadi yang selaras dengan fitrah kemanusiaannya. Pribadi yang fitri itu ibarat bayi yang tak punya kesanggupan untuk kufur terhadap sunnatullah. Seorang bayi akan selalu bersikap jujur, dus tidak ada pertentangan antara suara hati, pikiran, dan ucapannya. Darinya akan selalu tercium kesucian batinnya yang harum. Berbeda dengan hal itu, kita acapkali melihat manusia “kotor” yang mengajak manusia lain menuju “kesucian”, atau orang “suci” yang betah dalam “kekotoran”.
Kunci Kesuksesan Keempat
Kunci kesuksesan keempat yang harus dimiliki umat Islam adalah mengacu pada surah Al-Muddatstsir ayat 5 yang berbunyi: “Warrujza fahjur” (Dan, jauhilah maksiat, singkirkan hal-hal yang munkar). Belajar dari sejarah manusia dan peradaban, sebuah bangsa dan negara akan karam-tenggelam dalam lembah kehancuran dan kebinasaan jika kemaksiatan, kemunkaran, dan kezaliman telah merajalela dan menjadi bagian dari budayanya.
Melawan segala bentuk kemaksiatan dan kezaliman adalah program utama perjuangan umat Islam. Kemaksiatan dan kezaliman adalah salah satu sumber dosa yang utama. Dan, dosa akan menodai dan menghitamkan riwayat kehidupan seseorang serta membuat lidahnya menjadi kelu untuk meneriakkan kebenaran yang harus diperjuangkan, serta menepiskan kebathilan yang harus dimusnahkan.
Ribuan istigfar rasanya tidak cukup untuk meminta ampun kepada Allah atas kebisuan kita ketika menyaksikan segala bentuk kemaksiatan dan kezaliman yang mencolok di depan mata, entah berupa pelacuran, narkobaisme dan mabuk-mabukan, serta perjudian. Perjudian justru telah dianggap lumrah, bahkan dilegalisasi oleh pemerintah.
Yang tak kalah berbahayanya adalah kemaksiatan dan kezaliman dalam bentuk lainnya seperti korupsi, oksploitasi alam, penindasan kaum bawah, otoriterisme politik, kekerasan, ketidakadilan, dan ketimpangan sosial-politik lainnya yang kian merajalela di panggung sejarah umat manusia, entah dalam level lokal, nasional, maupun internasional.
Kunci Kesuksesan Kelima
Kunci kesuksesan kelima yang harus dimiliki umat Islam adalah mengacu pada surah Al-Muddatstsir ayat 6 yang berbunyi: “Walâ tamnun tastaktsir” (Janganlah engkau memberi karena mengharapkan balasan yang lebih banyak).
Itulah konsep “keikhlasan” dalam menjalankan tugas, pengabdian, dan perjuangan tanpa mengharapkan balasan dan pujian serta keuntungan benda dan materi karena semuanya tidak cukup untuk membalas usaha dakwah yang tak ternilai.
Keikhlasan hati dan ketulusan jiwa akan membuat kita tegar meskipun kita diasingkan oleh masyarakat yang terpedaya hawa nafsu. Lebih dari itu, rasa ikhlas yang sejati akan membuat kita menang dalam kekalahan, kenyang dalam kelaparan, aman dalam ketakutan serta selalu gembira meskipun derita datang mendera.
Tujuan jangka pendek dan kesenangan sesaat akan sirna oleh keikhlasan. Keikhlasan mampu mengubah tujuan perjuangan seseorang yang semula untuk diri sendiri menjadi berguna bagi sebanyak mungkin umat manusia yang membutuhkan.
Sosok yang berjiwa ikhlas itu ibarat lilin yang membiarkan dirinya terbakar demi menerangi saudara, tetangga, masyarakat, dan generasi yang akan datang. Sosok yang ikhlas juga akan menjauhkan diri dari perilaku mengorbankan orang lain demi kesuksesan yang ia raih. Sosok yang ikhlas tidak mau bersenang-senang di atas penderitaan, air mata, kepedihan, kesusahan, dan kucuran keringat orang lain, khususnya orang-orang yang lemah.
Kesuksesan umat Islam dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat akan tercapai dengan konsep keikhlasan, ketulusan, dan pengabdian, demi mengharap ridha Allah semata.
Kunci Kesuksesan Keenam
Kunci kesuksesan keenam yang harus dimiliki umat Islam adalah mengacu pada surah Al-Muddatstsir ayat 7 yang berbunyi: “Walirabbika fashbir” (Dan, bersabarlah karena Tuhanmu).
Kunci kesuksesan yang terakhir ini merupakan ruh dari seluruh perjuangan karena tanpa kesabaran dan ketahanan, semua yang kita lakukan bisa menjadi sia-sia, tidak berarti, dan berakhir dengan penyesalan yang berkepanjangan. Kesabaran, kegigihan, dan keuletan yang dimiliki seseorang biasanya akan menempuh jalan yang berliku.
Tetapi, dari sanalah semangat dan jiwa pejuang yang sejati akan tumbuh ibarat air dari puncak gunung yang mengalir ke bawah melalui semak belukar, menghantam batu besar, dan diterpa terik sinar matahari yang membakar. Air itu lalu lenyap menjadi uap dan turun menjadi hujan dan bergerak menuju laut kemenangan dan kejayaan.
Tentang kesabaran, Imâm Al-Ghazâlî membaginya dalam tiga kondisi, yakni sabar dalam ketaatan, sabar dalam musibah, dan sabar dalam kemaksiatan.
Sabar dalam ketaatan, artinya mampu beristiqamah dalam keyakinan, ibadah, dan ritual kesalehan di segala tempat, waktu dan keadaan, serta dapat mengendalikan diri dalam menunggu hasil dari apa yang kita tanam karena “keistiqamahan lebih mulia daripada beribu kemuliaan”.
Sabar dalam musibah, artinya selalu tabah menerima musibah, ujian, dan cobaan yang datang silih berganti sehingga tidak mudah putus asa dan hilang harapan dengan derita yang berkepanjangan. Umat yang mudah putus harapan akan mudah dijadikan budak oleh umat-umat lain. Tetapi, umat yang kuat dan besar akan tabah menghadapi rintangan, cobaan, dan godaan karena di balik itu semua selalu ada hikmah berharga yang bisa dipetik.
Sabar dalam maksiat, artinya mampu mengekang diri agar tidak terjerumus ke dalam “lembah hitam” kemaksiatan, kemungkaran, dan kezaliman yang disediakan oleh setan jahanam laknatullâh ‘alaih. Orang yang baik dan saleh bisa terjerumus ke lembah hitam kehidupan jika dia lalai dari upaya berzikir kepada Allah Swt.
Ketaatan kepada Allah kadang tidak dibarengi dengan benteng yang kuat untuk membendung tipu daya setan, sehingga orang yang telah sampai pada tingkatan wali sekalipun, kadang bisa luntur keimanannya akibat tidak sabar dalam mengendalikan dirinya.
Keluar dari Mimpi Dogmatis
Secara cukup panjang lebar, penulis telah menguraikan enam kunci kesuksesan umat Islam yang diambil dari kitab suci Al-Quran. Dengan mempraktikkan enam kunci kesuksesan secara konsisten, maka umat Islam diharapkan bisa segera keluar dari belenggu kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan penindasan yang telah lama menderanya.
Umat pilihan dan umat terbaik (khaira ummah) yang ditujukan kepada umat Islam pun seharusnya tidak berhenti hanya sebatas istilah, slogan, dan predikat kosong belaka. Kejayaan umat Islam pun tidak sekadar angan-angan dan romantisme sejarah belaka. Saatnya umat Islam keluar dari “selimut” dan “belenggu” yang mengurung dirinya selama berabad-abad.
Saatnya umat Islam bangkit dari tidur panjang dan keluar dari mimpi dogmatismenya, lalu menggerakkan peradaban dan menorehkan sejarah yang gemilang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar