Enam Kunci Kebangkitan Umat
Renungan Nuzul Al-Quran
“Akan datang suatu masa dimana umat Islam seperti makanan yang dikerubuti lalat, padahal jumlahnya merupakan mayoritas.” (Hadis Nabi)
Kondisi
umat Islam saat ini tampaknya telah sesuai dengan apa yang disabdakan
Rasulullah Saw. dalam Hadis di atas. Umat Islam saat ini berada dalam
situasi kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Umat Islam tertindas oleh kaum minoritas yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam
situasi terpuruk dan ketlingsut di “ketiak” peradaban dan sejarah, umat
Islam sebenarnya telah diingatkan oleh Allah tentang kondisinya dalam
Al-Quran surah Al-Muddatstsir ayat 1 sampai 7 (tulisan berikut akan mengurai beberapa kunci sukses yang harus dimiliki umat Islam mengacu pada surah Al-Muddatstsir ayat 1 sampai 7 tersebut).
Kunci Kesuksesan Pertama
Surah Al-Muddatstsir ayat 1 sampai 7 turun ketika Rasulullah sedang bertahanus (meditasi) di gua Hira. Waktu itu tiba-tiba terdengar suara
yang mengagetkan Rasulullah dan mengakibatkan tubuhnya bergetar hebat.
Rasulullah lalu pulang dengan keringat dingin yang bercucuran. Ia
mendatangi istrinya, Khadîjah, sambil berkata terbata-terbata,
“Selimutilah aku dengan selimut yang tebal dan basahilah tubuhku dengan
air dingin.” Saat itulah turun ayat “Yâ ayyuhal-muddatstsir. Qum fa andzir…” (Hai orang yang berselimut. Bangkitlah dan berilah peringatan…).
Ayat
itu memang dialamatkan kepada Rasulullah untuk disampaikan kepada semua
umat (Islam). Ayat itu sangat kontekstual dengan kondisi umat Islam
saat ini. Umat Islam dihimbau untuk bangkit dari tidur panjang (atau
mimpi dogmatis)-nya yang membuatnya terjerembab dalam jurang kebodohan,
kemiskinan, keterbelakangan, dan penindasan.
Umat
Islam telah lama “berselimut”; tubuhnya terbungkus kaku, kaki dan
tangannya terikat, matanya tertutup, mulutnya terbungkam, dan hidungnya
tak dapat menghirup udara untuk bernafas.
Hal
itu disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari luar maupun dari dalam.
Faktor dari luar itu bisa berupa penjajahan politik, sosial, budaya, dan
ekonomi dari negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan
sekutu-sekutunya. Penjajahan oleh negara-negara Barat terhadap umat
Islam terus berlangsung karena umat Islam masuk dalam perangkap
ketergantungan ekonomi yang mematikan.
Adapun,
faktor dari dalam adalah yang berasal dari kondisi umat Islam itu
sendiri. Umat Islam telah lama berada dalam situasi perpecahan, krisis
keimanan, dan kehilangan kepercayaan diri sebagai khaira ummah (sebaik-baik umat).
Agar selimut itu tersingkap, Allah menyuruh umat Islam untuk “qum!”, yakni berdiri, bangkit, tegak, mandiri, dan melepaskan diri dari kebodohan, keterbelakangan, ketergantungan, dan penindasan.
Setelah meraih kemandirian, barulah umat Islam mampu memberi peringatan,
melontarkan kritik, mengoreksi kekurangan dan kelemahan, melontarkan
saran dan anjuran berharga, serta membangun kekuatan yang sehat, kukuh,
dan produktif. Umat Islam pun lalu mampu mengontrol hal-hal yang tidak
baik dan destruktif.
Agar bisa keluar dari selimut kege!apan,
kesulitan, dan kebodohan, sekali lagi, umat Islam harus benar-benar
mandiri dan tidak tergantung pada kaum kafir yang licik, tamak, dan
imperialistik. Setelah berdiri tegak di atas kaki sendiri, umat Islam
pun mampu melaksanakan amanat sebagai khaira ummah yang menghimbau semua umat manusia untuk melaksanakan kebaikan dan menjauhi/mencegah segala bentuk kemungkaran.
Umat
Islam kadang berteriak lantang melawan segala bentuk kezaliman. Tetapi,
karena mereka belum mampu mandiri dan belum mampu berdiri tegak di atas
kaki sendiri, maka kezaliman itu pun tak kunjung hancur. Alih-alih
menghancurkan kezaliman, umat Islam—sadar atau tidak—justru masuk
perangkap kezaliman itu sendiri. Sungguh, hal ini merupakan kenyataan
yang ironis dan memprihatinkan.
Jika Nabi Ibrahim mengayunkan kapaknya untuk menghancurkan rezim Namruz yang kafir dan zalim;
maka umat Islam pun juga mengayunkan kapaknya, tetapi bukan untuk
meruntuhkan para penguasa (baca: rezim politik dan rezim ekonomi) yang
kafir dan zalim, melainkan untuk mengolah “hutan” kemewahan milik para “Namruz” modern.
Jika
ingin keluar dari kegagalan dan keterpurukan, guna meraih kesuksesan,
maka kunci pertama yang harus dimiliki umat Islam adalah “mandiri”
barulah memberi “peringatan” (bisa juga diinterpretasikan secara
terbatas sebagai berdakwah). Dua hal
itu seharusnya tidak dapat dipisahkan dari tubuh umat Islam, yaitu
kemandirian dan keberanian untuk memberi peringatan (dakwah). Dakwah
tanpa kemandirian akan sia-sia, sebaliknya kemandirian tanpa dakwah
adalah kehancuran.
Kunci Kesuksesan Kedua
Kunci kesuskesan kedua yang harus dimiliki umat Islam adalah mengacu pada surah Al-Muddatstsir ayat 3 yang berbunyi: “Wa rabbaka fa kabbir”
(Dan, agungkanlah Tuhanmu) yang berisi prinsip tauhid dan iman. Ayat
ini menjadi fondasi yang paling kuat bagi umat Islam untuk menggapai
cita-citanya karena hanya dengan prinsip tauhid dan imanlah umat Islam mampu berjuang dalam medan globalisasi dan modernitas yang penuh tantangan, rintangan, dan godaan.
Dengan
mengagungkan Asma Allah, maka diri manusia akan terasa kecil, hina, dan
tak berarti karena tiada kebesaran yang menyamai keagungan-Nya, tiada
kekuasaan yang menyamai kerajaan-Nya, tiada urusan yang lebih penting
kecuali ketaatan kepada-Nya.
Semua
yang kita miliki akan fana (lenyap dan binasa) dalam kebaqaan-Nya. Tak
ada siapa pun yang perlu ditakuti kecuali Allah. Tak ada harapan kecuali
Ridha-Nya. Dan, semua kesulitan, kebingungan, dan penderitaan akan sirna bila jiwa tenteram, hati suci, dan qalbu khusyu’ yang kita miliki telah menyatu dalam kebesaran Allah, Dzat yang Maha Tunggal.
Kunci Kesuksesan Ketiga
Kunci kesuskesan ketiga yang harus dimiliki umat Islam adalah mengacu pada surah Al-Muddatstsir ayat 4 yang berbunyi: “Wa tsiyâbaka fa thahhir” (Dan, bersihkanlah pakaianmu). Menurut Muhammad Thâhir ibn Al-Tsûr, baju yang harus disucikan adalah baju lahir dan batin sekaligus.
Baju “lahir” kita bersihkan dengan cara meningkatkan taraf hidup dan kualitas umat Islam yang pencapaiannya melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi didasarkan semangat “iqra’”, yaitu membaca ayat kauniyah (gerak sejarah, keberadaan alam semesta) dengan metode tafakkur (aktifitas berpikir dan menalar terhadap fenomena alam dan kehidupan), tadabbur (menghayati hikmah di balik ciptaan Tuhan yang Agung), dan tasyakur
(mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan Allah, kemudian mengolah
dan menggunakannya untuk kemaslahatan kehidupan dan kepentingan seluruh
alam).
Dengan
metode itu, diharapkan umat Islam mampu menjadi lokomotif kemajuan dan
sumber inspirasi yang tak pernah kering demi mewujudkan dunia baru yang sesuai dengan harapan seluruh umat manusia.
Kemudian, baju “batin” kita sucikan dari noda kehidupan, kotoran jiwa, dan debu-debu yang membuat batin kita buram. Karena hanya dengan kesucianlah, ruh amanah dan risalah dapat dijalankan dan tidak mungkin dipegang oleh tangan yang kotor serta jiwa yang berlumur noda dan dosa.
Kunci ketiga itu akan melahirkan pribadi Mukmin yang sejati, thâhirun muthahhirun (suci dan mensucikan), yaitu seseorang yang terus berusaha menjadikan dirinya bersih dari tangan yang berlumur darah maksiat dan mengosongkan hasratnya dari keinginan duniawi dan pujian manusia yang acapkali palsu dan menipu.
Semua
itu bisa menjadi modal bagi kita untuk mengajak sesama manusia menjadi
pribadi yang selaras dengan fitrah kemanusiaannya. Pribadi yang fitri
itu ibarat bayi yang tak punya kesanggupan untuk kufur terhadap
sunnatullah. Seorang bayi akan selalu bersikap jujur, dus tidak
ada pertentangan antara suara hati, pikiran, dan ucapannya. Darinya
akan selalu tercium kesucian batinnya yang harum. Berbeda dengan hal
itu, kita acapkali melihat manusia “kotor” yang mengajak manusia lain
menuju “kesucian”, atau orang “suci” yang betah dalam “kekotoran”.
Kunci Kesuksesan Keempat
Kunci kesuksesan keempat yang harus dimiliki umat Islam adalah mengacu pada surah Al-Muddatstsir ayat 5 yang berbunyi: “Warrujza fahjur” (Dan, jauhilah maksiat, singkirkan hal-hal yang munkar). Belajar dari sejarah manusia dan peradaban, sebuah
bangsa dan negara akan karam-tenggelam dalam lembah kehancuran dan
kebinasaan jika kemaksiatan, kemunkaran, dan kezaliman telah merajalela
dan menjadi bagian dari budayanya.
Melawan
segala bentuk kemaksiatan dan kezaliman adalah program utama perjuangan
umat Islam. Kemaksiatan dan kezaliman adalah salah satu sumber dosa
yang utama. Dan, dosa akan menodai dan menghitamkan riwayat kehidupan
seseorang serta membuat lidahnya menjadi kelu untuk meneriakkan
kebenaran yang harus diperjuangkan, serta menepiskan kebathilan yang harus dimusnahkan.
Ribuan
istigfar rasanya tidak cukup untuk meminta ampun kepada Allah atas
kebisuan kita ketika menyaksikan segala bentuk kemaksiatan dan kezaliman
yang mencolok di depan mata,
entah berupa pelacuran, narkobaisme dan mabuk-mabukan, serta perjudian.
Perjudian justru telah dianggap lumrah, bahkan dilegalisasi oleh
pemerintah.
Yang
tak kalah berbahayanya adalah kemaksiatan dan kezaliman dalam bentuk
lainnya seperti korupsi, oksploitasi alam, penindasan kaum bawah,
otoriterisme politik, kekerasan, ketidakadilan, dan ketimpangan
sosial-politik lainnya yang kian merajalela di panggung sejarah umat
manusia, entah dalam level lokal, nasional, maupun internasional.
Kunci Kesuksesan Kelima
Kunci kesuksesan kelima yang harus dimiliki umat Islam adalah mengacu pada surah Al-Muddatstsir ayat 6 yang berbunyi: “Walâ tamnun tastaktsir” (Janganlah engkau memberi karena mengharapkan balasan yang lebih banyak).
Itulah konsep “keikhlasan” dalam menjalankan tugas, pengabdian,
dan perjuangan tanpa mengharapkan balasan dan pujian serta keuntungan
benda dan materi karena semuanya tidak cukup untuk membalas usaha dakwah
yang tak ternilai.
Keikhlasan
hati dan ketulusan jiwa akan membuat kita tegar meskipun kita
diasingkan oleh masyarakat yang terpedaya hawa nafsu. Lebih dari itu,
rasa ikhlas yang sejati akan membuat kita menang dalam kekalahan,
kenyang dalam kelaparan, aman dalam ketakutan serta selalu gembira meskipun derita datang mendera.
Tujuan
jangka pendek dan kesenangan sesaat akan sirna oleh keikhlasan.
Keikhlasan mampu mengubah tujuan perjuangan seseorang yang semula untuk
diri sendiri menjadi berguna bagi sebanyak mungkin umat manusia yang
membutuhkan.
Sosok
yang berjiwa ikhlas itu ibarat lilin yang membiarkan dirinya terbakar
demi menerangi saudara, tetangga, masyarakat, dan generasi yang akan datang.
Sosok yang ikhlas juga akan menjauhkan diri dari perilaku mengorbankan
orang lain demi kesuksesan yang ia raih. Sosok yang ikhlas tidak mau
bersenang-senang di atas penderitaan, air mata, kepedihan, kesusahan,
dan kucuran keringat orang lain, khususnya orang-orang yang lemah.
Kesuksesan
umat Islam dalam menggapai kebahagiaan dunia dan akhirat akan tercapai
dengan konsep keikhlasan, ketulusan, dan pengabdian, demi mengharap ridha Allah semata.
Kunci Kesuksesan Keenam
Kunci kesuksesan keenam yang harus dimiliki umat Islam adalah mengacu pada surah Al-Muddatstsir ayat 7 yang berbunyi: “Walirabbika fashbir” (Dan, bersabarlah karena Tuhanmu).
Kunci
kesuksesan yang terakhir ini merupakan ruh dari seluruh perjuangan
karena tanpa kesabaran dan ketahanan, semua yang kita lakukan bisa
menjadi sia-sia, tidak berarti, dan berakhir dengan penyesalan yang
berkepanjangan. Kesabaran, kegigihan, dan keuletan yang dimiliki
seseorang biasanya akan menempuh jalan yang berliku.
Tetapi,
dari sanalah semangat dan jiwa pejuang yang sejati akan tumbuh ibarat
air dari puncak gunung yang mengalir ke bawah melalui semak belukar,
menghantam batu besar, dan diterpa terik sinar matahari yang membakar.
Air itu lalu lenyap menjadi uap dan turun menjadi hujan dan bergerak
menuju laut kemenangan dan kejayaan.
Tentang kesabaran, Imâm Al-Ghazâlî membaginya dalam tiga kondisi, yakni sabar dalam ketaatan, sabar dalam musibah, dan sabar dalam kemaksiatan.
Sabar
dalam ketaatan, artinya mampu beristiqamah dalam keyakinan, ibadah, dan
ritual kesalehan di segala tempat, waktu dan keadaan, serta dapat
mengendalikan diri dalam menunggu hasil dari apa yang kita tanam karena
“keistiqamahan lebih mulia daripada beribu kemuliaan”.
Sabar
dalam musibah, artinya selalu tabah menerima musibah, ujian, dan cobaan
yang datang silih berganti sehingga tidak mudah putus asa dan hilang
harapan dengan derita yang berkepanjangan. Umat yang mudah putus harapan
akan mudah dijadikan budak oleh umat-umat lain. Tetapi, umat yang kuat
dan besar akan tabah menghadapi rintangan, cobaan, dan godaan karena di
balik itu semua selalu ada hikmah berharga yang bisa dipetik.
Sabar
dalam maksiat, artinya mampu mengekang diri agar tidak terjerumus ke
dalam “lembah hitam” kemaksiatan, kemungkaran, dan kezaliman yang
disediakan oleh setan jahanam laknatullâh ‘alaih. Orang yang baik dan saleh bisa terjerumus ke lembah hitam kehidupan jika dia lalai dari upaya berzikir kepada Allah Swt.
Ketaatan
kepada Allah kadang tidak dibarengi dengan benteng yang kuat untuk
membendung tipu daya setan, sehingga orang yang telah sampai pada
tingkatan wali sekalipun, kadang bisa luntur keimanannya akibat tidak sabar dalam mengendalikan dirinya.
Keluar dari Mimpi Dogmatis
Secara
cukup panjang lebar, penulis telah menguraikan enam kunci kesuksesan
umat Islam yang diambil dari kitab suci Al-Quran. Dengan mempraktikkan
enam kunci kesuksesan secara konsisten, maka umat Islam diharapkan bisa
segera keluar dari belenggu kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan
penindasan yang telah lama menderanya.
Umat pilihan dan umat terbaik (khaira ummah)
yang ditujukan kepada umat Islam pun seharusnya tidak berhenti hanya
sebatas istilah, slogan, dan predikat kosong belaka. Kejayaan umat Islam
pun tidak sekadar angan-angan dan romantisme sejarah belaka. Saatnya
umat Islam keluar dari “selimut” dan “belenggu” yang mengurung dirinya
selama berabad-abad.
Saatnya
umat Islam bangkit dari tidur panjang dan keluar dari mimpi
dogmatismenya, lalu menggerakkan peradaban dan menorehkan sejarah yang
gemilang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar