Rabu, 28 Oktober 2015

Pendidikan Inklusif


Pendidikan Inklusif

  L
ANDASAN FILOSOFIS :
Pendidikan Inklusi adalah pendidikan yang didasari semangat terbuka untuk merangkul semua kalangan dalam pendidikan. Pendidikan Inklusi merupakan Implementasi pendidikan yang berwawasan multikural yang dapat membantu peserta didik mengerti, menerima, serta menhargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik maupun psikologis.

Adapun filosofi yang mendasari pendidkan inklusi adalah keyakinan bahwa setiap anak, baik karena gangguanperkembangan fisik/mental maupun cerdas/bakat istimewa berhak untuk memperoleh pendidikan seperti layanya anak-anak “normal” lainnya dalam lingkungan yang sama (Edicaion for All ). Secara lebih luas, ini bias diatikan bahwa anak-anak yang “normal” maupun yang dinilai memiliki kebutuhan khusus sudah selayaknya dididik bersama-sama dalam sebuah keberangaman yang ada di dalamnya, sekolah inklusi memainkan peran sebagai. Di sini, mereka tidak semata mengejar kemampuan akademik, tetapi lebih dari itu, mereka belajar tentang kehidupan itu sendiri.


  L
ANDASAN YURIDIS :
1. UUD 1945 pasan 31 yang dijabarkan dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang pemberian warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan;
2, UU No. 29 Tahun 2003, Juga dijelaskan pada UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
3. PP No. 72 Tahun 1997 tentang PLB;
4. SE Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang Rintisan Pelaksanaan Pendidikan terpadu.


  PENGERTIAN PENDIDIKAN INKLUSIF
  1. Pendidikan Inklusif adalah system layangan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusu belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon – Shevin dalam 0 Neil 1994 ).

  2. Sekolah penyelenggara Pendidikan khusus inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan
 kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukugan yang dapat diberikan oleh para guru,agar anak-anak berhasil (Stainback,1980 ).

  ALTERNATIF PENYELENGGARAAN :
Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif terbagi dalam dua jenis :
1. Sekolah Biasa/sekolah umum yang mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus,
2. Sekolah Luar Biasa/Sekolah Khusus yang mengakomodasi anak normal.

Adapun alternative Layanan Pendidikan Inklusif biar dilakukan antara lain dengan :
1. Kelas Biasa Penuh
2. Kelas Biasa dengan Tambahan Bimbingan di Dalam
3. Kelas Biasa dengan Tambahan Bimbingan di Luar Kelas.
4. Kelas Khusus dengan Kesempatan Bergabung di Kelas Biasa,
5. Kelas Khusus Penuh
6. Sekolah Khusus, dan
7. Sekolah Khusus berasrama


TAHAPAN PENERAPAN PENDIDIKAN INKLUSIF
 
1. Sebelum menerapkan inklusi ,sebaiknya sekolah sudah
  penerapan terlebih dahulu prisip-prisip MBS dengan tiga pilar utama: menagemen sekolah yg tranparan, akuntable dan demokarif; PAKEM dan optimalisasi peran serta masyarakat.
 2. Kepala sekolah,guru,komite, dan orangtua mendapatkan pemahaman apa, bagaimana, mengapa konsep inklusi perlu di terapkan.
 3. Kepala sekolah dan guru (yang nantinya akan menjadi GPK=GURU pembibing Khusus) harus mendapatkan pelatihan bagaimana menjalankan sekolah inklusi.
 4. GPK mendapatkan pelatihan teknis memfasilitasi anak ABK.
 5. Asesmen di sekolah dilakukan untuk mengatahui anak ABK.
 6. Sekolah melakukan motivasi dan penjaringan di masyarakat agar anak ABK yang belum masik sekolah mendapatkan pendidikan secara seimbang dengan memasukannnya ke sekolah inklusi.
 7. Pengadaan aksesiblilitas ( sarana dan prasarana bagi ABK)sesuai kemampuan sekolah.
 8. Menyelenggarakan pembelajaraan inklusi.
 9. Mengadakan Bimbingsn khusus atas kesepahaman dan kesepatandengan orangtua ABK.

KENAPA PENDIDIKAN INKLUSI HARUS DIPROMOSIKAN DAN DITETAPKAN:
 1. Semua anak mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
  pendidikan yang bernutu dan tidak didiskriminasikan
 2.semua anak mempunyai kemampuan untuk mengituki pelajaran tanpa melihat kelainan dan kecepatan
 3.perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu
  pembelajaran bagi semua anak
 4.sekolah dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merepon dari kebutuhan pembelajaran yg berbeda.

• SISI POSITIF PENDIDIKAN INKLUSI :
1.membangun kesadaran dan consensus pentingnya
  pedidikan influsi sekaligus menghilangkan sikap dan nilai yg diskriminatif
2.melimbatkan dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan
  local,memgumpulkan infomasi
3.Semua anak pada setiap sistrit dan mengidintifikasi
  alas an mengapa mereka tdk sekolah
4.mengindenfikasi hambatan berkaitan dengan kelainan fisik,social,dan masalah lainnya terhadap akses dan
  pembelajaran
5.melibatkan masyarakat dalam melakukan perecanaan
  dan monitoring mutu pendidikan bagi semua anak

HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN SEKOLAH
 PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF

 1.sekolah harus menyediakan kondisi kelas yg hangat,
  ramah menerima keanekeragaman menghargai
  perbedaan.
 2.Sekolah harus siap mengelola kelas yg heteogen dengan
  menerapan kurikulum dan pembelajaran yg bersifat
  individual
 3.guru harus menerapkan pembelajaran yg interatif
 4.guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profisi atau
  sumberdaya lain dalam perecanaan,pelaksanaan dan evaluasi
 5.guru dituntut melimbatkan orangtua secara bermakna dalam
  proses pendidikan

GURU PAI HARUS MENJADI "IMAM"

GURU PAI HARUS MENJADI "IMAM"
Foto
CIREBON, Peningkatan kompetensi guru PAI konsisten dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Agama Islam. Sebagaimana terselenggaranya Bimbingan Teknis (Bimtek) Kurikulum 2013 pada tanggal 13 - 15 Mei 2015 di Cirebon. Melalui kegiatan yang menekankan metode active learning pada pembelajaran PAI tersebut diharapkan mampu mendorong guru PAI untuk menciptakan pembelajaran yang kreatif, sehingga minat terhadap PAI semakin meningkat.

Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Cirebon, Drs, H. Masykur, M.Pd. yang turut hadir mendukung terselengaranya kegiatan tersebut. Menurutnya, Kurikulum 2013 menunjukan proses pembelajaran yang efektif. Meskipun saat ini Kurikulum 2013 dihentikan untuk sementara dan dikembalikan ke Kurikulum 2006, namun kurikulum 2013 sudah disosialisasikan di wilayah Cirebon dan hampir setiap guru pernah mendapatkan pelatihan. Dengan demikian, ia menegaskan bahwa substansi Kurikulum 2013 harus dan dapat dilaksanakan. "Jangan berfikir cara menilainya, tapi bagaimana prosesnya", tegas Masykur.

Dalam paparannya, Kasubdit PAI pada SMP, Dr. H. Nifasri M Nir M.Pd, menyatakan bahwa Kurikulum 2013 memiliki arti penting bagi PAI, sehingga pelaksanaannya harus dipahami dengan baik. Terkait dengan pemberlakuan implementasi Kurikulum 2013 yang dihentikan sementara, pihak Kemenag tetap memperhatikan bahwa konstruksi pembelajaran pada Kurikulum 2013 tetap penting untuk dipahami oleh guru PAI, sehingga kegiatan ini tetap penting untuk dilaksanakan.

Direktur Pendidikan Agama Islam, Dr. H. M. Amin Haedari, M.Pd pada kesempatannya menyatakan bahwa Kurikulum 2013 memiliki arti penting bagi PAI karena membawa semangat baru terhadap pembelajaran yang optimal. Semangat tersebut antara lain adalah terwujudnya PAI yang tidak hanya berorientasi pada pencapaian kompetensi kognitif, melainkan juga penguatan sikap. Semangat lain yang terkandung adalah perubahan untuk menjadikan PAI lebih diminati. PAI akan kurang diminati jika model pembelajaran yang disajikan kurang variatif.

Melalui pelatihan ini, Amin berharap guru PAI dapat menciptakan pembelajaran PAI yang efektif dan menyenangkan. Ia menjelaskan bahwa visi ke depan tidaklah banyak. Ia hanya berharap guru PAI menjadi "imam" bagi guru lain di sekolah. "Kami hanya ingin menggeser guru PAI dari belakang menjadi ke depan", tegasnya. Dengan kata lain, guru PAI diharapkan mampu menjadi pioner dalam pembelajaran di sekolah. Harapannya, guru PAI dapat diminati sekaligus menjadikan PAI sebagai bagian yang menyenangkan dalam proses pembelajaran di sekolah.

Lebih lanjut, Amin menekankan pentingnya penguasaan metode pembelajaran oleh guru PAI. "Tidak mungkin PAI dapat mendorong keaktifan siswa, jika guru tidak menguasai dan menerapkan active learning," tegasnya. Sebagaimana dalam teori pendidikan, anak kecil dapat berjalan karena dilatih berjalan oleh orang tuanya, bukan karena panduan berjalan. Pada akhir kesempatannya, Amin menegaskan kepada para guru PAI peserta workshop, "Anda merupakan Kontributor pengembangan PAI". [Rudi]

Visiting Guru PAI 2015

Dirjen Pendis Lepas Peserta Visiting Guru PAI
Foto
Jakarta (Pendis) - Di depan 50 peserta terseleksi Program Visiting Guru PAI SD (GPAI SD) Tahun 2015 yang akan diterjunkan ke 25 Kabupaten/Kota di Indonesia, Direktur Jenderal Pendidikan Islam KemenagRI, Kamarudin Amin (26/10/2015) di Jakarta, menyampaikan bahwa para guru PAI akan menjadi "the rising star" di lokasi daerah sasaran. Bintang yang bersinar. Mereka tidak hanya menjadi model bagi guru-guru PAI lain di daerah setempat namun juga memerankan banyak hal atau presentasi dari segala hal, bahkan bisa dianggap sebagai tokoh masyarakat. Karenanya para GPAI SD yang telah lolos seleksi Direktorat PAI untuk bekerja selama seminggu di daerah sasaran hendaknya mempersiapkan diri dan terutama membekali diri dengan banyak hal tak terkecuali bekal mengajar dalam kaitannya pengembangan metode pembelajaran.
Program Visiting GPAI adalah program khusus yang dirancang sebagai salah satu bentuk upaya menghadapi tantangan, namun juga apresiasi dan peluang bagi GPAI untuk membantu Kementerian Agama dalam peningkatan mutu pembinaan dan peningkatan mutu PAI di sekolah. Program ini juga bertujuan membantu percepatan pemerataan kompetensi GPAI dan dapat menjembatani kualitas GPAI yang tersebar di berbagai penjuru wilayah di Indonesia terutama di wilayah 3 T (Terluar, Tertinggal dan Terdalam). Kegiatan ini juga bisa menjadi wadah sharing(berbagi) pengalaman antara guru PAI yang kreatif, inovatif dan inspiratif dengan guru PAIsasaran atau pihak lain yang perlu mendapat pencerahan dalam pengembangan mutu PAI.
Lebih lanjut, setelah menyematkan pin kegiatan kepada peserta Visiting secara simbolis, Kamarudin Amin menyampaikan ucapan selamat bertugas kepada peserta Visiting. Bertugas untuk menjalankan pengabdian kepada agama, bangsa dan anak-anak bangsa. Program Visiting diharapkan tidak hanya membuahkan pengalaman eksotik karena menarik dan memperkaya pengalaman, namun juga mampu mempertajam pengalaman sosiologis di masyarakat.
(wikan/dod)
Diupload oleh : dod (-) | Kategori: Dirjen Pendis | Tanggal: 26-10-2015 21:57

Sumpah Pemuda 2015: Satu untuk Bumi

Wed, 10/28/2015 - 11:17
Jakarta, Kemendikbud --- “Berikan aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda, maka akan kugoncang dunia”. Kutipan pernyataan mantan presiden pertama RI  Soekarno itu mengawali sambutan yang dibacakan Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (PAUD dan Dikmas) Kemendikbud, Harris Iskandar, dalam upacara peringatan Sumpah Pemuda. Harris  bertindak sebagai Inspektur Upacara Hari Sumpah Pemuda tahun 2015 di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
 
Dalam upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda di lapangan Kemendikbud, Rabu pagi (28/10/2015), Harris membacakan sambutan dari Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi. Harris mengatakan, peringatan Sumpah Pemuda yang ke-87 ini mengambil tema “Revolusi Mental untuk Kebangkitan Pemuda Menuju Aksi “Satu untuk Bumi”.
 
Tema itu didasari atas keprihatinan yang mendalam terhadap dua hal. Pertama, fenomena baru tentang berubahnya pola realisasi masyarakat akibat arus modernisasi dan kemajuan teknologi informasi. Kedua, terkait fenomena pengelolaan sumber daya alam yang belum sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan.
 
“Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 membuat kita bangga, bahwa pemuda Indonesia telah mengawali sebuah perubahan besar untuk negeri kita ini. Tekad dan keberanian pemuda telah menginspirasi dan menguatkan persatuan dan kesatuan bangsa jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia dideklarasikan,” ujar Harris saat membacakan sambutan.
 
Upacara peringatan Sumpah Pemuda di lingkungan Kemendikbud berlangsung di halaman kantor pusat Kemendikbud, Senayan, Jakarta. Upacara dimulai sejak pukul 08.00 WIB, dan diikuti para pejabat di lingkungan Kemendikbud serta perwakilan pegawai tiap unit utama dengan berseragam Korpri.
 
Selain berlangsung di kantor pusat Kemendikbud, upacara peringatan Sumpah Pemuda juga dilakukan di unit utama dan unit kerja lainnya yang berada di luar kantor pusat. Unit tersebut antara lain Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di Sentul, Pusat Teknologi Informasi dan Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan di Ciputat, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai di Sawangan, dan Museum Nasional di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Barat. (Desliana Maulipaksi)

Selasa, 27 Oktober 2015

Pentingnya Pendidikan Seks di Usia Dini

Pentingnya Pendidikan Seks di Usia Dini

Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)
dakwatuna.com – Kejahatan seksual pada anak belum juga berhenti. Hampir setiap hari kita mendengar berita miris ini. Soalnya, predator anak bergentayangan mencari mangsanya tanpa kenal lelah. Dengan jurus jitu, si penjahat ini mampu menaklukkan korban tanpa terdeteksi sejak dini. Dengan memanfaatkan kepolosan anak, sang pemburu seks ini melancarkan aksinya. Diawali dengan bujuk rayu, memberikan bantuan, harapan, perhatian sampai pada ancaman dan kekerasan, akhirnya korban keganasannya berjatuhan satu persatu. Ironisnya, kejahatan ini baru terbongkar dan pelakunya baru ditangkap setelah puluhan anak menjadi korban kebuasan seksnya. Yang sulit diterima akal sehat, pelaku kejahatan seksual tidak hanya dilakukan oleh orang asing atau orang baru bagi anak akan tetapi juga dilakoni orang terdekat. Tidak satu dua kali kita mendengar kabar, seorang ayah teganya menggagahi anaknya sampai hamil, seorang abang mengganggu adiknya, bahkan seorang kakek menyudahi cucunya. Ayah atau kakek yang sejatinya menjaga dan melindungi anak keturunannya agar selamat dunia akhirat namun justru ikut serta merusak diri dan masa depan anak cucunya. Sudah separah inikah negeri ini hingga tidak ada orang yang dapat dipercaya lagi untuk melindungi diri seorang anak. Hal inilah yang membuat orang tua (khusus ibu) merasakan kecemasan dan ketakutan atas keselamatan anaknya dari kejahatan seksual.
Memang banyak penyebab merajalelanya perbuatan yang abnormal ini. Di samping penyimpangan seksual yang dimiliki oleh orang bejat itu, juga disebabkan tidak adanya ketahanan dan pembelaan diri anak atas kejahatan seksual yang dilancarkan orang lain pada dirinya. Kondisi ini bisa terjadi karena sangat terbatasnya bahkan tidak adanya pengetahuan seks yang dimiliki anak sebagai bekal untuk mempertahankan dan menyelamatkan diri. Makanya banyak para pemerhati keselamatan anak dan penggiat perlindungan anak mengampanyekan pentingnya pendidikan seks pada anak sejak usia dini. Edukasi ini dilakukan agar anak memiliki pengetahuan tentang diri dan organ seksnya serta cara melindungi diri sehingga bisa terjaga dari orang-orang yang berniat jahat pada dirinya.
Pendidikan seks yang ditanamkan sejak dini akan mempermudah anak dalam mengembangkan potensi dirinya, meningkatkan harga dan kepercayaan diri, memiliki kepribadian yang sehat, dan penerimaan diri yang positif serta pertahanan diri dari marabahaya. Di sinilah peran orang tua benar-benar penting dan menentukan, karena merekalah yang paling mengenal diri dan kebutuhan anaknya. Ayah bunda yang lebih mengetahui perubahan dan perkembangan anak setiap saat. Di samping juga orang tua yang paling dekat dan memahami karakter anaknya. Dengan demikian orang tua bisa memberi pendidikan seks secara alamiah sesuai tahapan-tahapan perkembangan anak yang menjadi tanggungannya.
Dalam menyampaikan pendidikan seks pada anak tidak bisa secara instan namun memerlukan waktu yang lama dan berkesinambungan. Orang tua harus sabar dalam memerankan tugas ini sehingga anak dapat mengerti dan memahami apa yang disampaikan padanya. Dengan bahasa yang mudah dipahami dan dengan pendekatan pribadi, orang tua dapat menyampaikan hal-hal prinsip berkaitan dengan seks yang harus diketahui anak. Di sinilah kepiawaian orang tua dalam melaksanakan pendidikan seks pada anaknya dalam keluarga. Sebagai unit terkecil dan pertama maka keluarga harus dapat memenuhi kebutuhan anaknya termasuk dalam hal pendidikan seks. Makanya paradigma yang menyatakan bahwa pendidikan seks pada anak usia dini merupakan suatu hal yang tabu hendaknya segera dihapus dalam kamus pikiran orang tua. Dengan demikian orang tua akan dapat melaksanakan tugas ini dengan baik dan benar tanpa terbebani.
Ada beberapa prinsip dasar yang harus diberikan orang tua pada anaknya berkaitan dengan pendidikan seks pada usia dini. Pertama, orang tua harus memperkenalkan bagian tubuh penting yang dimiliki anak (maksudnya alat vital) beserta fungsinya. Orang tua harus mampu mengemukakan pada anak agar dapat menjaga dan memelihara alat vital tersebut dari gangguan dari siapa saja. Sejak dini orang tua sudah menggambarkan pada anak bahwa alat vital dan bagian tubuh lainnya yang sensitif merupakan aurat yang harus dijaga dan ditutup rapat. Tidak boleh satu orang pun yang boleh melihat apalagi meraba alat tersebut karena akan menimbulkan bahaya besar bagi dirinya. Anak diajarkan agar jangan membiarkan bagian tubuhnya seperti bibir, dada, paha, dan kemaluannya dipegang dan diraba orang lain. Apabila hal ini terjadi maka si anak diminta menghindar atau melawan untuk keselamatan dirinya.
Kedua, orang tua harus menanamkan rasa malu pada anak sejak usia dini. Sifat ini akan membantu anak dalam menjaga dan memelihara aurat atau kehormatannya. Anak yang sudah mulai memahami hal ini sesuai dengan usianya akan mampu menjaga dirinya, seperti tidak akan buang air kecil dan besar di tempat terbuka, menukar pakaian di hadapan orang lain dan tidak menampakkan auratnya. Sering terjadi kejahatan seksual pada seorang anak disebabkan oleh tidak rapinya pakaian anak sehingga bagian tubuhnya kelihatan. Sekalipun berada dalam rumah, anak perempuan tetap hendaknya memakai pakaian yang sopan dan yang tidak merangsang. Ini sebagai antisipasi terjadinya kejahatan seksual dari kalangan keluarga terdekat.
Ketiga, mengajarkan pada anak tata krama dalam pergaulan atau pertemanan sejak usia dini. Anak laki-laki sebaiknya bermain dengan anak laki-laki. Demikian juga dengan anak perempuan hendaknya bermain sesama perempuan juga. Apabila hal ini sudah ditanamkan sejak usia dini maka tentu anak perempuan akan risih dan tidak nyaman sekiranya ada laki-laki dewasa asing yang mendekati dirinya apalagi sampai melakukan sesuatu yang tidak diingini seperti memegang bagian tubuh, mengelus dan merabanya bahkan lebih dari pada itu. Sering kejahatan seksual menimpa anak ketika dirinya membiarkan orang lain meraba tubuhnya .
Keempat, orang tua harus memisahkan tempat tidur atau kamar anak laki-laki dengan anak perempuan. Hal ini mengajarkan bahwa memang anak laki-laki dengan anak perempuan itu berbeda kodrat dan organ tubuhnya. Masing-masing anak memiliki spesifik tersendiri dan hal yang berbeda baik dari segi fisik maupun dari sisi psikisnya. Dengan pemahaman ini, anak akan berusaha tampil sesuai dengan identitasnya. Makanya, orang tua harus memberikan mainan atau pakaian sesuai dengan jenis kelamin anaknya seperti mobilan untuk laki-laki dan boneka untuk perempuan atau laki-laki dengan celana panjangnya dan anak perempuan dengan rok dan jilbab manisnya.
Kelima, orang tua harus menjaga tontonan anak. Orang tua harus mampu mengedukasi anaknya tentang film atau drama yang layak ditontonnya. Orang tua tidak bisa memberikan kebebasan pada anak dalam hal menonton dan menyaksikan siaran televisi. Pasalnya, tak jarang kejahatan atau pelecehan seksual justru dilakukan seorang anak di bawah umur berawal dari tontonan yang tidak benar. Kita tentunya pernah mendengar anak laki-laki yang masih duduk di bangku SD memperkosa adiknya atau teman perempuannya. Oleh karena itu, dengan mendampingi anak dalam menonton dan memilih tontonan yang sehat maka anak akan terhindar dari melakukan kejahatan seksual.
Redaktur: Ardne


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/10/17/75971/pentingnya-pendidikan-seks-di-usia-dini/#ixzz3ppukAJrq 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Senin, 26 Oktober 2015

Urgensi Pendidikan Agama, Dalam Membentuk Karakter Sosial Anak

Urgensi Pendidikan Agama, Dalam Membentuk Karakter Sosial Anak

Ilustrasi. (Heriyanto)
Ilustrasi. (Heriyanto)
dakwatuna.com – Pendidikan yang saat ini meluap di negara kita sudah bukan lagi pendidikan yang hanya untuk dipandang sebelah mata saja, melainkan kita harus berusaha dan bertekad untuk lebih memajukannya. Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang hanya menekankan atau menitikberatkan pada kecerdasan intelektual saja akan membuat anak didik jauh dari masyarakatnya. Ini dikarenakan setiap peserta didik memiliki kemampuan yang berbeda-beda, tetapi di sisi lain tetap harus diperlakukan secara adil. (Pepi Nuroniah, 2015)
Dalam sistem pendidikan di negara kita, pendidikan agama merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan. Penitik-beratan pendidikan pada kecerdasan intelektual akan membuat ketidakseimbangan dalam menanamkan nilai sosial pada peserta didik. Oleh karena itu, sebagaimana yang dikatakan oleh Muhammad Siddik “Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat.”.
Maka menyeimbangkan potensi anak dalam sisi kecerdasan intelektual dan spiritual akan menjadikan peserta didik memiliki nilai sosial dalam masyarakat. Salah satu caranya adalah internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan. Lanjut M. Siddik “Bagi kehidupan umat manusia maka internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat”.
Menurut Pepi Nuroniah dalam 1000 guru mengatakan, ada beberapa beberapa elemen yang cukup berpengaruh dalam proses pendidikan. Pertema, Keluarga ; apa yang sering dikatakan orang tua akan menjadi sugesti yang akan terus terbawa hingga ia mampu memahami segala hal yang terjadi di sekitarnya, hingga ia mampu mengontrol emosi dan alam bawah sadar yang akan terus mengontrol tindakannya. Sosialisasi yang baik dari keluarga akan memberikan manfaat yang sangat baik.
Kedua, Teman atau Sahabat ; teman yang baik akan memberikan pengaruh yang baik pula pada kepribadian kita, akan sangat berpengaruh terhadap pendidikan-pendidikan kecil yang akan kita peroleh. Setelah keluarga, kita akan sering bertemu dan bergabung dengan seorang teman, sebagai tempat berinteraksi, dan bertukar pendapat. Sebagai contoh, ketika dalam satu kotak terdapat dua buah kertas, kertas A kita coba untuk sirami sebuah tinta maka kemungkinan besar kertas B juga akan ikut terkena juga, bukan? Nah, seperti itulah 2 buah kertas sama dengan seseorang yang selalu bersama-sama dan ia akan saling mempengaruhi satu sama lain.
Ketiga, Media ; media yang dimaksud di sini adalah media massa. Seiring dengan perkembangan teknologi saat ini, segala hal yang sering kita saksikan akan menjadi acuan. Sebab, apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan tanpa sadar akan mempengaruh diri kita. Maka dari itu kita harus cerdas dalam menggunakan media dan memanfaatkannya.
Ilmu itu tidak hanya dari pembelajaran yang dijelaskan oleh seorang guru, baik itu di sekolah, di kampus atau bahkan penjelasan yang terus dijelaskan oleh atasan kepada bawahannya di tempat kerja, melainkan lebih dari itu. Sebab itulah urgensi mendidik anak di era informasi dan teknologi ini tidak cukup hanya memberikan pengetahuan yang bresifat kognitif saja, tapi juga harus berbasis pada tatanan sosial kemasyarakatan, dengan cara menambahkan forsi pendidikan agama di sekolah.
Membekali karakter sosial kemasyarakatan anak dalam agama Islam sendiri telah memiliki dua elemen sebagai pilar dasarnya, antara lain: Pilar pertama yaitu kepedulian, hal ini diterangkan dalam hadist Nabi Saw Tidaklah sempurna iman seseorang yang bermalam dalam keadaan kenyang sedang tetangganya kelaparan. (HR. Ibnu Abi Syaibah, dalam kitab iman, dari sahabat Ibnu Abbas no. 29748)”.
Pilar kedua adalah kejujuran, prihal sikap jujur, Nabi Saw telah menerangkan dalam hadistnya “Hendaklah kamu berpegang kepada kejujuran, karena kejujuran itu akan membawa kebaikan, dan kebaikan itu akan membawa kepada surga (kebahagiaan), dan hendaklah tetap seseorang itu bersifat jujur dan memilih kejujuran hingga ia tertulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Jauhilah olehmu dusta, karena dusta itu akan membawa kepada keburukan dan keburukan itu akan membawa ke neraka (kehancuran…”
Aries Musnandar pernah menyinggung pendidikan untuk anak yang hanya memfokuskan pada sisi intelektual. Ia mengatakan “sepatutnya, mendidik dan membentuk karakter anak didik kita jangan disamakan atau diidentikkan dengan kegiatan industri dalam memproses raw material menjadi finished goods, Hal ini mengingat anak sebagai manusia merupakan makhluk unik, penuh misteri dan dinamis (umm,2014)”.
Akhirnya kita semua bersepakat, bahwa landasan membentuk karakter dasar anak dalam pendidikan, tidak cukup hanya dengan mengembangkan kecerdasan Intelectual saja. Tapi harus pula diimbangi dengan kecerdasan spiritual, melalui implementasi pandidikan agama yang sungguh-sungguh oleh semua pihak di lingkungan sekolah ataupun lingkungan masyarakat.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/07/31/72442/urgensi-pendidikan-agama-dalam-membentuk-karakter-sosial-anak/#ixzz3pk7KBjpG 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Movie Learning Sarana Efektif Menanamkan Akhlak Mulia Pada Anak

Movie Learning Sarana Efektif Menanamkan Akhlak Mulia Pada Anak

(Heri Yanto)
(Heri Yanto)
dakwatuna.com – Setiap orang punya cara masing-masing dalam memberikan pendidikan yang baik kepada anak, namun tidak semua cara itu baik, sebab tingkat penerimaan anak-anak berbeda-beda, sehiingga orang tua atau seorang pendidik memerlukan cara yang ideal sehingga anak atau peserta didik mampu menerima dengan baik walaupun kemampuan menyerapnya berbeda-beda, yang harus diperhatikan adalah apa yang paling disenangi oleh anak-anak, karena ketika anak menyenangi sesuatu itu maka akan mudah untuk menerimanya, misalnya anak senang kalau diajak bermain, maka seorang pendidik atau orang tua harus mengikuti kemauan anak itu sendiri, namun pada prosesnya seorang pendidikan harus bisa memadukan nilai edukasi dengan permainan yang dilakukan, selain yang saya sebutkan di atas banyak cara lainnya seperti mendongeng, bernyanyi, menonton dan lain-lain.
Nah yang paling sering kita temui saat ini adalah hampir semua anak-anak suka menonton tidak terkecuali sinetron atau acara-acara lainnya yang ditayangkan di televisi, yang kebanyakan tidak mengandung nilai Edukasi, namun berbeda dengan yang akan saya uraikan kali ini, media televisi, laptop atau media elektronik lainnya justru baik untuk mendidik anak serta menanamkan Akhlak mulia terutama bagi anak-anak usia dini, seperti halnya yang dilakukan oleh Relawan Pendidikan Sekolah Guru Indonesia dalam Program Ramadhan Ceria yang digelar di empat Kecamatan Pandeglang Banten dalam program MARAKCIIS (Masyarakat Cinta Islam).
Selama 18 hari sejak memasuki hari ketiga bulan ramdhan sampai saat ini Para Relawan SGI daerah penempatan Pandeglang Banten menggelar berbagai kegiatan salah satunya adalah MABIT (Malam Bina Iman dan Taqwa) untuk anak-anak Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar yang ada di kabupaten Pandeglang, dalam kegitan yang dilaksanakan sehari semalam di tiap tempat itu ditargetkan anak-anak mampu memahami materi yang disampaikan hanya dalam hitungan menit dengan menggunakan model yang sangat efektif dan cukup menarik perhatian anak-anak, adapun model pembelajaran yang digunakan dalam kegiatan singkat tersebut adalah memutarkan film islami.
Namun cara menontontonnya pun tidak seperti pada umumnya, yaitu anak-anak diputarkan film dan dibiarkan nonton sendiri, tapi cara menonton kali ini cukup unik, siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok dan duduk dengan rapi sesuai instruksi yang diberikan pemandu, sebelum kegiatan dimulai pemandu memberikan beberapa pertanyaan yang akan dijawab oleh siswa selama proses menonton berlangsung, masing-masing siswa memegang buku tulis untuk mencatat beberapa pertanyaan dari pemandu, kemudian dari pertanyaan tersebut siswa harus menemukan jawabannya di dalam film yang ditonton, sebelum film diputar siswa diberi beberapa perturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama, seperti siswa harus duduk dengan tertip serta tidak boleh membuat keributan yang bisa mengganggu temannya yang lain, ketika kesepakatan sudah dibuat para guru duduk mendampingi siswa menonton hingga selesai.
Film yang diputar dengan durasi yang cukup singkat 5-6 menit, hal ini dilakukan untuk membatasi agar siswa tidak jenuh dan bosan, film diputar dalam dua tahapan, tahap pertama film diputar dengan 3 judul dan siswa harus mencatat hal-hal yang dianggap penting, untuk menguji kemampuan siswa pemandu melanjutkan dengan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan film yang ditonton, selama sesi tanya jawab berlangsung siswa tidak diperkenankan untuk membuka buku, bagi siswa yang mampu menjawab dengan benar diberi reward berupa coklat, setiap judul film dibatasi pertanyaanya satu sampai dua, setetelah itu baru dilanjutkan dengan judul berikutnya hingga selesai, dan kembali dilanjutkan dengan pertanyaan.
Cara ini cukup efektif dalam menanamkan akhlak mulia kepada anak lewat media, sebab cara menonton seperti ini siswa tidak sekadar melihat keseruannya dan mengetahui alur ceritanya saja, namun mereka benar-benar mampu memahami makna serta isi yang terkandung dalam cerita film tersebut, hal ini ditunjukkan dengan partisipasi aktif anak-anak dalam menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh pemandu.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/07/30/72423/movie-learning-sarana-efektif-menanamkan-akhlak-mulia-pada-anak/#ixzz3pk3utzU1 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Save Generasi Muda (SGM)

Ilustrasi. (reproduksi-remaja.blogspot.com)
Ilustrasi. (reproduksi-remaja.blogspot.com)
dakwatuna.com – Sebelumnya, mari kita intip sejenak kegemaran remaja masa kini yang katanya modern. Berikut adalah yang penulis kutip dari buku “Saat Anakku Remaja” karya Nurul Chomaria. Banyak dari mereka suka nongkrong, pesta, mejeng di mall, makan di restoran mewah, pacaran, rebutan pacar, melihat konser, tawuran, taruhan, narkoba, dan pergaulan bebas dengan lawan jenis. Tentunya masih banyak lagi yang menggambarkan kencendrungan remaja masa kini, walau tidak semua remaja seperti yang disebut di atas.
Keluarga memiliki peran penting dalam fenomena penyimpangan akhlak remaja. Mengapa demikian? Bagaimana peran keluarga akan berfungsi? Alasan apa yang membuat remaja muslim menjadi taqlid buta dengan budaya barat? Pertanyaan-pertanyaan ini kadang sering kita kesampingkan dan lebih memilih menjudge apa yang remaja muslim jalani dalam meniru gaya hidup bebas ala barat, tanpa lagi merenungkan, mengapa sih mereka ikut-ikutan budaya barat yang amoral dan jauh dari manfaat?!
Peran Keluarga
Hal pertama yang melatarbelakangi taklid ini adalah kurang sadarnya remaja muslim akan akibat fatal dari menjalani gaya hidup hedonis. Ditambah lagi kerapuhan yang ada dalam keluarga masing-masing remaja muslim yang berimbas pada kebiasaan dan akhlak yang buruk. Di mana sekarang keluarga tidak mampu lagi menghimpun setiap anggotanya yang tercerai-berai. Ini dibuktikan oleh mayoritas orang tua masa kini yang tidak terlalu peduli dengan siapa putra-putri mereka bergaul, dengan siapa anak perempuannya pergi, apa yang dilakukan anak laki-lakinya bersama teman-temannya. Belum lagi media cetak dan elektronik yang biasa diakses para remaja yang hampir sebagian besar menonjolkan kekerasan, seksualitas dan pornografi.
Kondisi seperti ini secara tidak langsung akan meruntuhkan nilai-nilai yang seharusnya dipegang teguh dalam keluarga muslim. Saat anak-anak mulai memasuki masa puber, peran keluarga pun menjadi meningkat dari hal perhatian, pendidikan, mengayomi, membimbing remaja muslim yang pastinya masih sangat labil.
Dalam bukunya Rasulullah Sang Pendidik; menjaga amanah menuju jannah, Said Al-Qahthani menyebutkan: Anak-anak yang tidak diajarkan sikap Rasulullah, mereka tidak akan tahu akhlak beliau karena mereka tidak pernah diberikan pengarahan dan bimbingan yang benar. Mereka memiliki bapak yang fasik dan pelaku maksiat serta ibu yang tidak takut pada Allah dan tidak merasa diawasiNya. Dari kebodohan ini lahirlah anak-anak rusak yang lebih menyukai perilaku yang buruk dari pada akhlak yang baik”.
Berikut ada beberapa media efektif yang harus ditempuh para pendidik:
  1. Pendidikan dengan keteladanan
  2. Pendidikan dengan ibadah
  3. Pendidikan dengan nasihat
  4. Pendidikan dengan pengamatan
  5. Pendidikan dengan hukuman
Dari ulasan di atas sudahlah jelas, bagaimana peran keluarga dalam mendidik anak-anaknya untuk berpegang teguh terhadap syariat Allah Subhanah. Arahan dan bimbingan yang kontiyu pastinya akan menimbulkan dampak baik dalam pengalaman beragama anak, yang harus dipantau terus menerus oleh keluarga terkhusus orang tua. Lebih intens dalam mengawasi perkembangan anak, penyimpangan perilaku akan memberi ruang pada keluarga untuk saling mengokohkan kontruksi keluarga dalam tawashy bil haqq wa tawashy bisshobr.
Peran Remaja Muslim
Remaja masa kini adalah kaum intelektual yang seharusnya bersikap kritis dalam segala hal. Apalagi berkaitan dengan hal yang tidak diragukan lagi pengaruhnya dalam merusak moral para remaja. Norma dicoreng, rasa malu dikesampingkan, bahkan kehormatan pun, rela dilelang hanya karena “trend”.
Hai guys, para remaja muslim khususnya ! Hendaknya kita sedikit sadar bahwa trend ala barat itu, tidak ada dalam ajaran islam. Pergunakan masa mudamu dengan maksimal, karena ia adalah masa kekuatan. Seperti halnya kekuatan dalam menuntut ilmu dan menebarkan ilmu serta manfaat, masa muda juga merupakan masa kekuatan dalam hal libido seksual. Hal inilah yang kadang sering menjerumuskan remaja dalam perbuatan maksiat yang hingar-bingar terjadi saat ini.
Jangan sampai kau menyesal di masa tuamu seperti yang disesalkan Abu al-‘Atahiyah:
Aku menangisi masa mudaku dengan air mataku,
Maka tidaklah lagi berguna ratapan dan tangisan
Sungguh sangat disayangkan, kusesali masa mudaku
Diakhiri dengan uban dan kepala yang berwarna
Kulepas masa mudaku dan aku masih berseri-seri,
Sebagaimana ranting segar yang dicabuti daunnya
Seandainya masa muda suatu hari akan kembali
Akan kuberitahu dia apa yang dilakukan orang-orang tua.
Berikut beberapa yang harus diperhatikan oleh para remaja muslim terkait perannya demi menyelamatkan dirinya dan remaja muslim lain dari menjalani gaya hidup bebas ala barat :
  1. Pintar-pintarlah memilih teman. Dalam hadits Rasulullah bersabda: “perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk seperti pembawa minyak kesturi dan peniup api. Pembawa minyak kesturi adakalanya memberi minyaknya padamu atau adakalanya kamu membeli darinya dan adakalanya kamu mendapatkan bau harum darinya. Dan peniup api itu adakalanya dia membakar tubuhmu atau kain bajumu dan adakalanya kamu mendapatkan bau busuk darinya.” (HR.Bukhari)
Mengutip Nurul Chomaria, “remaja sangat menyukai aktivitas bersama teman sebaya. Selain itu juga remaja cendrung mengikuti pola sikap dan perilaku teman-teman yang ada di kelompoknya.” Jelas sekali sangat besar pengaruh teman dalam kehidupan remaja. Urgensi memilih teman pun semakin terlihat dengan fakta bahwa remaja sangat mudah terpengaruh dengan suasana sekitarnya.
  1. Menentukan sosok yang pantas menjadi figur teladan sangat berpengaruh dalam menyelamatkan generasi muda. Salah dalam memilih idola tentunya akan menggiring remaja untuk meniru idolanya walau terkadang sangat bertentangan dengan norma masyarakat umum. Sebagai generasi muslim hendaknya menjadikan Rasulullah, ulama’ atau ilmuwan muslim sebagai teladan, yang pastinya akan menjadikan generasi muslim lebih percaya diri, memiliki prestasi meningkat, kepribadian kuat dan disenangi orang tua, keluarga dan lingkungan sekitar.
  2. Buatlah agenda kegiatan yang lebih bermanfaat setiap hari, sehingga teman-teman lain pun tertarik untuk ikut serta dalam hal-hal positif. Seperti kegiatan OSIS, ekskul, sosial atau ROHIS, sehingga tipikal remaja yang selalu ingin diakui keberadaannya digiring pada kegiatan positif dan membantu proses tumbuh kembangnya.
Wallahu a’lam bishshowab…
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/09/13/74471/save-generasi-muda-sgm/#ixzz3pk2pB47N 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Pendidikan Remaja sebagai Generasi Bangsa

Pendidikan Remaja untuk Penyiapan Generasi Bangsa

Ilustrasi. (reproduksi-remaja.blogspot.com)
Ilustrasi. (reproduksi-remaja.blogspot.com)
dakwatuna.com – Dewasa ini banyak terlihat fenomena kenakalan remaja, ketika ditelaah lebih lanjut apakah ada istilah mengenai kenakalan anak atau kenakalan dewasa? Jika ada maka istilah tersebut masih kalah populer dengan istilah kenakalan remaja. Ketika kita mengetik keyword “kenakalan remaja” di internet maka akan bermunculan berbagai artikel, berita, kasus, informasi, makalah dan penelitian yang berbicara tentang masalah tersebut. Membahas tema mengenai kenakalan remaja memang tidak akan pernah kehabisan bahan karena masa remaja dikenal sebagai masa khusus yang kompleks dan penuh gejolak. Masa remaja adalah masa di mana seorang anak mengalami masa pertumbuhan paling pesat. Terlihat dari perkembangan biologis yang kompleks dalam hal ukuran tubuh, fisiologis tubuh, kematangan seksual di mana kesemuanya mengalami percepatan.
Karena akselerasi pertumbuhan dan perkembangan pada fase ini, maka remaja dituntut untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Ketika seorang remaja gagal dalam menyesuaikan diri dan melakukan penyimpangan sosial maka akan muncul fenomena kenakalan remaja. Dalam wikipedia kenakalan remaja diartikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar norma, aturan, atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja atau transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Agar fenomena kenakalan remaja ini dapat diantisipasi maka alangkah baiknya kita sebagai orang tua atau sebagai pendidik dapat memahami lebih lanjut mengenai fase “remaja”, agar dapat memberikan sikap yang tepat dalam menangani kenakalan remaja.
Karakteristik Perkembangan Remaja
Fase remaja atau dalam istilah lain disebut sebagai pubertas. Istilah puberty (bahasa Inggris) atau puberteit (bahasa Belanda) berasal dari bahasa Latin, pubertas, yang berarti usia kedewasaan (the age of manhood). Istilah ini berkaitan dengan kata dalam bahasa Latin lainnya pubescere yang berarti masa pertumbuhan rambut di daerah “pubic” (wilayah kemaluan). Penggunaan istilah ini lebih terbatas maknanya dan menunjukkan perkembangan dan tercapainya kematangan seksual dalam fase remaja. Pubescere dan puberty sering diartikan sebagai masa tercapainya kematangan seksual seseorang dilihat dari aspek biologisnya.
Istilah Adolescentia berasal dari kata Latin : Adulescentis. Dengan Adulescentia dimaksudkan masa muda. Adolescence menunjukkan masa yang tercepat antara usia 12-22 tahun dan mencangkup seluruh perkembangan psikis yang terjadi pada masa tersebut. Di Indonesia baik istilah pubertas maupun adolescensia dipakai dalam arti umum dengan istilah remaja (Sunarto, 2008)
Batasan remaja menurut organisasi kesehatan dunia WHO adalah suatu masa pertumbuhan dan perkembangan di mana : (1) Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder sampai saat ia mencapai kematangan seksual, (2) Individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, (3) Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaaan yang relatif mandiri (Sarlito, 1991: 99)
Dalam ilmu kedokteran, ilmu psikologi dan ilmu-ilmu terkait, remaja dikenal sebagai suatu tahap perkembangan fisik atau perubahan fisik yang terjadi dan merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja. Pertumbuhan ini meliputi ukuran tubuh, perubahan proporsi tubuh, munculnya ciri kelamin yang primer dan ciri kelamin sekunder, baik pada laki-laki maupun perempuan. Masa pematangan fisik ini berjalan kurang lebih 2 tahun dan biasanya dihitung pada dimulainya masa mentruasi pada wanita dan fenomena mimpi basah pada pria untuk pertama kalinya.
Masa 2 tahun ini dinamakan masa pubertas dan sangat bervariasi karena cepat lambatnya mentruasi dan mimpi basah sangat tergantung pada kondisi tubuh masing-masing individu. Misalkan ada anak wanita yang sudah menstruasi pada umur 9 tahun, 10 tahun dan ada juga yang baru mengalami menstruasi pada usia 17 tahun. Kemudian salah satu fase perkembangan pada remaja menurut Aristoteles adalah fase III yaitu pada usia 14-21 tahun di mana pada fase ini terjadi peralihan “status” dari anak menjadi orang dewasa, masa ini penuh dengan gejolak karena terjadinya perkembangan biologis yang begitu cepat.
Ciri pertama lainnya dari masa remaja ini adalah mulai munculnya protes terhadap lingkungan yang dianggap menelantarkannya, mulai membutuhkan teman yang mengerti dirinya dan mulai mencari pegangan hidup. Sikap khas yang dapat dilihat dan perlu disadari adalah perubahan sikap remaja terhadap lingkungannya, terhadap orang tua tidak nurut lagi, merasa lebih aman dengan kelompok sebaya dan ingin melepaskan diri dari pengaruh orang tua.
Sikap ini akan berubah dengan mulai tercapainya kematangan dan sikap ini membawa pengaruh di sekolah, oleh sebab itu guru dan orang tua harus waspada agar remaja dapat diarahkan ke hal-hal yang positif dan produktif. Misalkan memberikan dorongan untuk belajar kelompok, olah raga, kegiatan pramuka dan kebiasaan hidup sehat. Di sekolah juga perlu diselenggarakan kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler yang terprogram baik. Hal ini menjadi penting karena pertumbuhan fisik pada remaja dapat mempengaruhi perkembangan tingkah laku remaja.
Selain terjadi pertumbuhan dan perkembangan secara fisik, remaja juga mengalami perkembangan secara psikologis yaitu ”perkembangan psikologis dan pada identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa”. Puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan adanya proses perubahan dari kondisi “entropy” ke kondisi “negen-tropy” (Sarlito, 1991 : 1). Entropy adalah keadaan di mana kematangan psikologis manusia masih belum tersusun secara sempurna. Walaupun sudah memiliki banyak konten psikologis (pengetahuan dan perasaan) namun konten tersebut belum saling terkait dengan baik, sehingga belum bisa berfungsi secara maksimal. Selama masa remaja, kondisi entropy ini secara bertahap disusun, diarahkan, distrukturkan kembali, sehingga lambat laun terjadi kondisi “negative entropy” atau negentropy. Kondisi negentropy adalah keadaan di mana isi kesadaran tersusun dengan baik, pengetahuan yang satu terkait dengan perasaan atau sikap.
Konflik dalam diri remaja yang seringkali menimbulkan masalah, yang sering disebut dengan kenakalan remaja, sangat tergantung kepada kondisi lingkungan. Remaja yang tinggal dalam masyarakat yang menuntut persyaratan yang berat untuk mejadi dewasa, akan menjalani masa remaja ini dalam kurun waktu yang panjang. Biasanya hal ini terjadi dalam masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas atau masyarakat yang menuntut pendidikan tinggi bagi anak. Hal inilah yang kemudian menuntut remaja agar dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya. Jadi tidak heran ketika kita melihat remaja yang berada di masyarakat menengah ke atas lebih pintar dan peduli terhadap pendidikan, sehingga kemauan untuk berprestasi menjadi lebih tinggi.
Peran Orang tua dalam Pendidikan Remaja
Menurut karakteristik perkembangannya, remaja mengalami berbagai perubahan yang integral. Para orang tua dan pendidik harus mampu memahami dan menyikapi perubahan yang berkembang secara cepat sekaligus menciptakan metode yang andal untuk menghadapi berbagai tingkat permasalahan remaja. Sehingga baik antara remaja dengan remaja, remaja dengan orang tua ataupun remaja dengan para pendidik akan terjalin keserasian yang paripurna.
Selama ini ketika kenakalan remaja muncul, umumnya yang disalahkan pertama kali adalah sang remaja. Pada hal bisa jadi ini adalah dampak dari orang tua dan pendidik yang kurang memahami gejolak jiwa remaja, misalnya seorang ayah masih memperlakukan anak yang tengah puber layaknya anak itu masih kecil. Baik ayah maupun ibu harus memperhatikan perkembangan yang terjadi pada anaknya, walaupun ibu disebut sebagai madrasah utama bagi anak-anaknya, tetapi tetap saja perlu mendapatkan dukungan dari sang ayah. Dalam kasus ini ayah seharusnya memperhatikan perkembangan sang anak yang memasuki masa remaja yang membutuhkan cara perlakuan yang berbeda dengan masa kanak-kanak. Jika orang tua tidak dapat memahami perkembangan ini akan dapat menimbulkan kesenjangan antara orang tua dengan anaknya, dan kondisi seperti ini akan terus berkembang sampai anak itu menginjak masa kedewasaan.
Untuk mengantisipasi kondisi tersebut ada baiknya jika orang tua atau pendidik dapat mengambil beberapa sikap yang tepat terhadap perkembangan anak menuju remaja, di antaranya adalah : 1) Mengetahui secara optimal perubahan yang terjadi pada anak remaja, 2) Mengarahkan anak remaja untuk mengikuti kegiatan keagamaan secara disiplin seperti shalat berjamaah dan membaca secara teratur, 3) Mengarahkan remaja untuk mengikuti kegiatan positif baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat, 4) Membiasakan terjadinya dialog antara anak dengan orang tua di rumah, 5) Menanamkan rasa percaya diri kepada anak serta mendengarkan pendapat mereka, 6) Menyarankan anak agar menjalin persahabatan dengan teman-teman yang baik, dan 7) Mengembangkan potensi anak dalam kegiatan yang bermanfaat seperti kegiatan ekstrakurikuler.
Pada akhirnya setiap orang tua dan pendidik harus memahami perilaku dan perubahan remaja agar dapat mendidik remaja untuk mewujudkan generasi bangsa Indonesia yang lebih baik ke depannya. Masa remaja adalah masa yang istimewa, penuh gejolak karena pertumbuhan fisik juga akan mempengaruhi perkembangan berpikir, bahasa, emosi dan sosial sang anak. Dengan demikian masa perkembangan yang khusus ini juga memerlukan penanganan yang khusus dari setiap orang tua dan pendidik agar para remaja dapat melalui fase ini dengan baik.
Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2015/10/19/76020/pendidikan-remaja-untuk-penyiapan-generasi-bangsa/#ixzz3pk1fyTmY 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook