Rabu, 21 Mei 2014

MEMBANGUN SEKOLAH YANG MANUSIAWI PADA ANAK USIA DINI

MEMBANGUN SEKOLAH YANG MANUSIAWI PADA ANAK USIA DINI
Foto
Peresensi : Hamdi
Judul Buku : Permainan Edukatif yang Mencerdaskan
Penulis : Suyadi
Penerbit : Power Book
Cetakan : 1, Agustus 2009
Tebal : 270 halaman
Planet bumi ini dihuni oleh berbagai macam jenis manusia dengan berbagai macam pikirannya. Beragamnya jenis manusia sekaligus pikirannya sesungguhnya menunjukan kesempurnaan Sang Pencipta manusia tersebut. Dalam konteks Agama Islam perbedaan adalah rahmat yang harus disyukuri dengan cara saling mengenal dan menghormati satu sama lain. Selain itu perbedaan juga adalah sumber kekuatan dalam membangun peradaban. Maka dari itu, perbedaan di dalam dunia ini adalah sebuah keniscayaan.
Perbedaan tersebut dapat dilihat dengan banyaknya suku, ras, bahasa, bangsa, agama. Dalam konteks cita-cita, keinginan manusia terhadap sesuatu juga terdiri dari berbagai macam. Ada anak manusia yang senang dengan matematika dengan cita-cita sebagai ahli matematika dan tidak senang dengan seni. Ada anak manusia senang dengan bermain musik dan membuat computer namun ada juga yang senang dengan membuat jalan raya, menjadi guru dan lain sebagainya.

Selain perbedaan fisik dan jenis kesukaan terhadap sesuatu, daya manusia dalam memahami dan menggambarkan sesuatu tersebut juga berbeda. Perbedaan daya ini dijelaskan dalam ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, dan lain-lain. Dalam Surat Al-Ankabut ayat 43 Allah berfirman:
"Demikian itulah perumpamaan-perumpamaan yang Kami berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang alim (berpengetahuan)" (QS Al-Ankabut: 43).
Ada juga yang dinyatakan oleh Allah dalam Al-Quran dengan bahasa "orang-orang yang berakal" dalam pembicaraan tentang bukti-bukti keesaan Allah SWT. Dan ada juga dengan menggunakan bahasa "Ulil Albab" yang sesungguhnya memiliki makna yang sama, yakni orang berakal namun mengandung pengertian lebih tajam dari sekedar memiliki pengetahuan.
Keanekaragaman akal dalam konteks menarik makna dan menyimpulkan terlihat juga dari penggunaan istilah-istilah semacam nazhara, tafakkur, tadabbur, dan sebagainya yang semuanya mengandung makna mengantar kepada pengertian dan kemampuan pemahaman.
Dengan keunikan anak manusia tersebut, sekolah sebagai lembaga tempat untuk mendidik, mengembangkan, mentransfer ilmu pengetahuan harus memahami karakter dan pikiran anak itu sendiri. Hal ini karena lembaga pendidikan sangat berpengaruh besar dalam perkembangan anak didiknya. Sekolah sangat mempengaruhi perubahan pada fungsi dan anatomi otak anak. Ini membuktikan bahwa para pendidik dan sekolah tidak hanya mempengaruhi proses berpikir anak-anak tetapi sesungguhnya juga membantu mengembangkan otak anak.
Dengan pengaruh sekolah dan guru sebagai pendidik pada anak dalam proses pembentukan otak anak tersebut diatas maka begitu juga sebaliknya, sekolah dan guru juga dapat merusak bahkan menghancurkan pikiran anak yang siap ditempa tatkala sekolah dan guru tidak mampu memahami dan salah mengartikan pemikiran-pemikiran anak yang berbeda satu sama lain. Maka dengan begitu sekolah dan guru harus memahami pikiran anak untuk dapat mengembangkan anak tersebut.
Sesungguhnya setiap anak memiliki sisi kreatif yang tersembunyi. Perbedaan hanya pada waktu penyalurannya saja. Ada sebagian anak yang dalam hal tersebut membutuhkan penyaluran segera, namun juga ada anak yang tidak terlalu mendesak untuk menyalurkannya. Oleh karena itu, guru harus mampu memahami pikiran-pikiran anak dengan bahasa dan tingkah laku dari anak itu. Dengan begini guru akan mudah menetukan pendekatan dan metode pembelajaran yang digunakan untuk murid tersebut.
Namun perlu diketahui, pada usia anak 2-6 tahun, sesungguhnya masa untuk bermain. Pada masa tersebut anak belajar di taman kanak-kanak (TK/RA/PAUD) maka guru dalam memberikan pembelajaran pada anak usia tersebut seharusnya dengan pola bermaian sambil belajar dan belajar sambil bermain. Anak diberikan kebebasan dalam berkreasi, mengambil keputusan dengan kemampuan intelektualitasnya dan sekolah, guru memberikan ruang bebas bagi anak dan memfasilitasinya dengan berbagai macan model dan alat pendukung guna merangsaang segala potensi anak tersebut. Dengan begini anak akan merasa nyaman dan enjoy untuk belajar.
Sekolah mesti menjadi tempat yang aman dimana anak-anak merasa bebas mengambil resiko intelektualitasnya. Di dalam kelas, seorang murid harus merasa bebas mengemukakan pendapat dan pernyataan yang bisa saja salah, controversial, atau tidak sesuai dengan pendapat guru. Dengan kebebasan yang dimilikinya, si-anak akan menemukan berbagai kemungkinan-kemungkinan baru untuk mengekspresikan diri.
Selain memberikan ruang bebas bagi anak berekspresi dan berkreatifitas, sekolah juga harus memberikan penghargaan pada perbedaan minat dan kemampuan anak dalam menentukan dan memahami sesuatu. Sekolah tidak boleh menerapkan system "pemaksaan" kepada anak didiknya dalam proses belajar-mengajar. Anak yang pintar adalah anak yang bisa membaca, menulis dan berhitung (calistung) dalam waktu yang telah ditentukan disekolah. Dengan logika berpikir tersebut dalam proses belajar-mengajar , seorang guru (akan) menuntut anak muridnya untuk dapat, membaca, menulis dan berhitung (calistung). Sekolah akan memberikan peraturan yang ketat dan kaku. Sesungguhnya pemahaman (logika berpikir) tersebut adalah sesat dan menyesatkan karena telah meniadakan keragaman yang sesungguhnya adalah sebuah keniscayaan dan "mengebiri" kebebasan anak manusia dalam menentukan arah dan cita-cita hidupnya.
Dalam konteks proses belajar-mengajar pada anak usia dini, sekolah harus menerapkan belajar sambil bermaian dan bermain sambil belajar. Bermaian sering dimaknai sebagai aktivitas yang sia-sia alias tanpa arti dan terkadang diartikan dengan sempit. Bermain dalam dunia anak sering diterjemahkan hanya sebatas jalan-jalan, rekreasi, wisata alam, wisata rohani, out bound, dan lain sebagainya. Dan yang namanya belajar harus menggunakan pensil dan buku, kegiatan yang tidak menggunakan kedua alat tersebut bukanlah belajar. Pendapat ini adalah keliru.
Sesungguhnya belajar pada masa anak-anak adalah bermain itu sendiri. Tentu yang dimaksud bermain disini adalah bermain yang mengandung fungsi edukatif, yakni segala bentuk permainan yang dapat memberikan pengetahuan dan kemampuan anak. Adapaun waktu bermain anak sesungguhnya adalah dirumah, maka rumah adalah "sekolah" pertama dan utama bagi anak-anak. Disekolah anak-anak belajar berbagai macam bentuk permainan, maka dirumahlah anak-anak mempraktikan ulang dan mengembangkan permainan yang didapat disekolah tersebut. Dengan begitu, sekolah dan orang tua murid harus memiliki persepsi yang sama tentang dunia anak. Dengan adanya persamaan persepsi tersebut akan tercipta kondisi belajar melalui bermain pada anak.
Bagaimana permainan yang memiliki fungsi edukatif tersebut? Dalam buku ini dipaparkan permainan edukatif yang mampu meningkatkan semua potensi anak. Selain itu buku ini juga membuka jalan kreatif untuk dapat memilih dan membuat jenis permainan sendiri.
Buku yang terdiri dari 7 (tujuh) bab ini disampaikan dengan bahasa yang sederhana sehingga buku ini "gurih" untuk dibaca dan mudah untuk dimengerti apa yang dimaksud oleh penulis. Namun, minimnya gambar dalam buku ini menuntut pembaca untuk mengeluarkan sedikit "otot saraf" untuk menerawang sedikit jauh agar dapat mengasosiasikan alat permainan yang diamksud. Untuk lebih "nikmat" dibaca dan memberikan gambaran yang utuh memang harus ditampilkan gambar-gambar permainan yang menarik dan berwarna hidup agar lebih mudah dipahami isi buku ini. Namun begitu, buku ini tetap penting dan layak dibaca para pemerhati anak, guru, mahasiswa dan mereka yang memiliki perhatian khusus pada dunia anak dan para orang tua.
Semoga buku ini dapat menginspirasi untuk memberikan pendidikan anak usia dini yang manusiawi. Yakni pendidikan yang memberikan kebebasan dan menghargai perbedaan para generasi negeri ini. Bukan pendidikan yang penuh dengan intruksi dan sangsi takala tidak dituruti, pendidikan yang "mengebiri" kebebasan berekspresi, pendidikan yang membunuh generasi tanpa hati nurani. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar