Selasa, 20 Mei 2014

PROFESIONALISME GURU

Profesionalisme Guru (Pendidik) Dalam Era Globalisasi, Implikasi, Peluang dan Tantangannya

Thursday, 21 November 2013 (11:57) | 770 views | 0 komentar | Print this Article
Oleh : Prof. Dr. H. Soedijarto, MA
Ketua Dewan Pembina ISPI
I. Pendahuluan
Dalam memulai paparan ini ijinkanlah saya menyampaikan paparan saya ini dengan mengutip kesimpulan Komisi Internasional UNESCO tentang Pendidikan Memasuki Abad ke-21 tentang peranan guru (pendidik), dalam kalimat berikut.
“ The importance of the role of the teacher as an agent of change, promoting understanding and tolerance, has never been more obvious than today. It is likely become ever more critical in the twenty-first century. The need for change, from nationalism to universalism, from ethnic and cultural prejudice to tolerance, understanding and pluralism, from autocracy to democracy in its various manifestations, and from technologically divided world where high technology is the privilege of the few to a technologically united world places enormous responsibilities on teacher who participate in the moulding of the character and minds of the young generation
(garis bawah oleh penulis)”

Tulisan ini sengaja dimulai dengan mengutip kesimpulan panitia UNESCO karena pernyataan itu menekankan tentang demikian pentingnya peranan guru (pendidik) dalam menghadapi perubahan masyarakat global hampir dalam semua dimensi kehidupan, untuk itkut “moulding the characters and minds”dari generasi muda memasuki abad ke-21. Kini kita sudah memasuki dekade kedua abad ke-21. Tetapi lebih dari itu sesungguhnya para “Founding Fathers” pada saat Proklamasi menyadari bahwa pada saat Proklamasi Kemerdekaan masyarakat bangsa Indonesia juga menghadapi masalah yang sama dengan masyarakat dunia dalam memasuki abad ke-21, yaitu tantangan untuk mengubah masyarakat Indonesia yang serba tertinggal memasuki peradaban modern abad ke-20. Karena itu dalam pernyataan kemerdekaan yang mereka susun, yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945 ditegaskan bahwa salah satu misi utama penyelenggaraan Pemerintahan Negara Indonesia adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Pernyataan kemerdekaan yang menekankan upaya “mencerdaskan khidupan bangsa” ini, dalam pandangan saya (seperti diulas oleh penulis dalam berbagai tulisannya ) hakekatnya berangkat dari kesadaran para pendiri Republik tentang perkembangan masyarakat Indonesia pada tahun 1945 yang serba tertinggal dalam hampir semua dimensi kehidupan diukur dari kacamata peradaban modern pada pertengahan abad ke-20, baik politik, ekonomi, sosial budaya, dan IPTEK. Karena itu perlu proses transformasi budaya dari masyarakat yang tradisional dan feudal ke masyarakat modern dan demokratis. Karena itu pula Bung Karno menyatakan bahwa hakekat revolusi yang kita hadapi adalah “summing-up of many revolution in one generation”. Untuk itu para pendiri Republik melalui UUD 1945 pasal 31 ayat (2) dan pasal 32 menggariskan : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional” (pasal 31 ayat (2) dan “pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia” (pasal 32).
Ini berarti bahwa dalam proses transformasi budaya, kedudukan sekolah sangatlah strategis. Tetapi sayang sejak proklamasi sistem persekolahan kita belum sepenuhnya diberi kemampuan untuk berperan sebagai pusat pembudayaan tetapi tidak lebih dari tempat untuk “mendengar, mencatat, dan menghafal”. Suatu tradisi sekolah yang dijaman penjajahan merupakan tradisi sekolah untuk kaum pribumi, yaitu Sekolah Desa, dan bukan tradisi sekolah yang melahirkan Sukarno, Hatta, Syahrir, dan para “Founding Fathers” sebagai pemikir dan pembaharu.
Memasuki abad ke-21 kita memiliki UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dalam pandangan penulis memuat filosofi pendidikan yang memungkinkan sekolah dapat berperan sebagai pusat pembudayaan dan mendudukan guru untuk berperan ikut “moulding the characters and mind of the young generation”. Brangkat dari pandangan dasar “Pendidikan sebagai wahana proses pembudayaan dalam proses transformasi budaya (mencerdaskan kehidupan bangsa) selanjutnya marilah kita soroti “Profesionalisme Guru (Pendidik) dalam Era Globalisasi dan Implikasinya”.
Dalam menyoroti topik ini selanjutnya berturut-turut akan dianalisis : (1) Filsafat pendidikan yang dianut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Implikasinya; (2) Guru sebagai Jabatan Profesional dan Maknanya; (3) Pendidikan Guru dan Tenaga Pendidik yang Relevan; dan (4) Peluang dan Tantangannya.
II. FILSAFAT PENDIDIKAN YANG DIANUT UU NO.20 TAHUN 2003 DAN IMPLIKASINYA
Bila kita telaah UU Sisdiknas kita akan menemukan perbedaan yang esensial antara filosofi pendidikan yang dianut oleh UU no. 2 Tahun 1989 dengan yang dianut UU No. 20 Tahun 2003.
Dalam UU No. 2 Tahun 1989
“Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan / latihan bagi peranannya di masa yang akan dating” (pasal 1 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1989),
bandingkan dengan hakekat pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara”. (pasal 1 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003).
D isamping perbedaan tentang hakekat pendidikan, kedua UU Sisdiknas tersebut, walaupun dasarnya sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945 (pasal 2), dalam fungsi dan tujuan pendidikan keduanya juga berbeda. Perhatikan kutipan berikut dibawah ini Pasal 3 UU No. 2 Tahun 1989
“Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional”
Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003, tertulis :
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”
Sedangkan tujuan pendidikan nasional, kita dapat bandingkan dalam kutipan berikut
Pasal 4 UU No. 2 Tahun 1989
“Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”
Sedangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 yang tertulis dalam pasal yang sama dengan fungsi pendidikan nasional, tertulis :
“……. Bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”
Berangkat dari kutipan-kutipan diatas jelaslah bahwa UU No. 20 Tahun 2003 menganut aliran filsafat pendidikan yang lebih modern dari UU No. 2 Tahun 1989, baik dalam hal pengertian atau hakekat pendidikan maupun fungsi pendidikan nasional.
Kalau UU No. 2 Tahun 1989 menganut pandangan yang menekankan pendidikan dan atau lembaga pendidikan yang aktif, seperti “menyiapkan” dan “mengembangkan”, sedangkan UU No. 20 Tahun 2003 menekankan aktifnya peserta didik seperti “agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya”. Demikian juga dalam rumusan fungsi pendidikan. UU no. 2 Tahun 1989 sasaran fungsi pendidikan nasional lebih luas, yaitu : “terwujudnya tujuan nasional”. Sedangkan dalam UU No. 20 Tahun 2003 sasarannya lebih menjurus yaitu “dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”, melalui berkembangnya kemampuan dan terbentuknya karakter serta peradaban bangsa.
Sedangkan dalam hal tujuan pendidikan “substansinya hampir sama” hanya cara pencapaiannya berbeda. UU No. 2 Tahun 1989 menekankan istilah “mengembangkan” sedangkan UU No. 20 Tahun 2003 menggunakan istilah “berkembangnya potensi peserta didik”.
Penulis sengaja menyoroti hal ini sebelum memasuki tema pokok yaitu Profesionalisme Guru (pendidik), karena dalam pandangan penulis selama ini pelaksanaan pendidikan nampak tidak memperdulikan filosofi pendidikan atau konsepsi dasar tentang pendidikan yang dianut. Yang seharusnya secara sistemik dan sistematik diupayakan perwujudannya. Akibatnya berbagai perubahan UU sejak tahun 1950 pengaruhnya tidak sampai ke perubahan proses pembelajaran yang dihayati peserta didik. Padahal hanya dengan proses pembelajaran yang dilakukan dan dihayati peserta didik suatu sistem pendidikan akan bermakna bagi pembangunan bangsa. Dan gurupun tetap berperan seperti sebelum ada perubahan dalam filosofi pendidikan yang dianut.
UU No. 20 Tahun 2003 di samping menganut filosofi pendidikan yang menekankan kepada menciptakan “suasana dan proses pembelajaran” agar peserta didik aktif mengembangkan potensinya, dalam kaitan ini UU ini lebih lanjut menganut paradigm baru dalam pelaksanaan pendidikan seperti dapat dibaca pada pasal 4 ayat (3) yang menyatakan : “Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik”. Suatu model pendidikan yang dianut oleh Negara seperti Amerika Serikat, dan suatu model pendidikan yang tidak menempatkan lembaga pendidikan hanya sebagai tempat untuk “mendapatkan pengetahuan”. Prinsip ini dalam pandangan penulis juga diabaikan. Akibatnya setelah hampir 67 Tahun merdeka, cita-cita “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam pengertian yang disinggung di depan belum juga terwujud. Masyarakat bangsa Indonesia belum juga cerdas kehidupannya.
Dari ulasan terdahulu dapatlah ditarik beberapa catatan :
(1) Bahwa pendidikan yang dianut oleh UU No. 20 Tahun 2003 bukanlah pendidikan hanya sebagai proses memperoleh pengetahuan yang umumnya tidak relevan;
(2) Bahwa pendidikan yang dianut oleh UU No. 20 Tahun 2003 bukanlah pendidikan yang menempatkan peserta didik sebagai pendengar, pencatat, dan penghafal agar dapat lulus dalam ujian akhir yang dirancang utamanya untuk mengukur ketiga hal tersebut.
Tetapi sebaliknya UU No. 20 Tahun 2003 adalah pendidikan yang :
(1) Merupakan proses pembudayaan segala kemampuan, nilai, dan sikap dalam rangka mengembangkan kemampuan (intelektual, sosial, kultur, civic, dan ekonomi) dan membentuk watak (kepribadian mandiri, beretos kerja, berdisiplin, taat asas, bertanggung jawab, demokratis, dan bermoral).
(2) Merupakan pendidikan yang memandang peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya, melalui proses pembelajaran yang menantang, merangsang, dan menyenangkan , yang oleh UNESCO melalui Komisi Internasionalnya dianjurkan untuk menerapkan empat pilar belajar yaitu : Learning to Know, Learning to Do, Learning to Live Together, dan Learning to Be.
Model pembelajran dan peran satuan pendidikan sebagai pusat pembelajaran yang dianut oleh UU No. 20 Tahun 2003, yang dalam pandangan penulis sangat relevan bagi Indonesia dalam memasuki abad ke-21 ini memerlukan sosok guru yang benar-benar profesional. Untuk itu berikut akan mencoba mengulasnya.
III. GURU (PENDIDIK) SEBAGAI JABATAN PROFESIONAL DAN MAKNANYA
Bagi penulis, lahirnya UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, khusunya bagian tentang Guru adalah suatu pembaharuan pendidikan guru yang revolusioner. Karena melalui UU ini jabatan guru secara resmi didudukkan sebagai jabatan profesional. Mungkin ada yang bertanya “Apakah jabatan guru selama ini belum berstatus jabatan profesional? Dalam pengertian “Profesi sebagai pekerjaan/ jabatan yang memerlukan “Advanced Education and Special Training”, selama ini pekerjaan guru selama ini sesungguhnya belum berstatus sebagai jabatan profesional, berikut akan diulas secara singkat perkembangan pendidikan guru.
Kalau kita mejejaki sejarah pendidikan Indonesia, kita akan medapatkan pengetahuan bahwa kualifikasi guru yang mengajar di SD, SLTP, dan SLTA pada jaman penjajahan, dan jaman Indonesia merdeka sampai dengan tahun terakhir dekade 1950-an dan permulaan dekade 1960-an jauh dibawah kualifikasi guru pada saat ini. Pada jaman penjajahan Belanda pendidikan guru SD 3 tahun (Sekolah Desa) adalah CVO (2 tahun setelah SD), pendidikan guru SD Nomor dua (SD 5 tahun) adalah Normal School (4tahun setelah lulus SD), untuk HIS (Sekolah Dasar Belanda untuk orang Indonesia dengan bahasa pengantar bahasa Belanda yang lamanya 7 tahun) adalah HIK (6 tahun setelah lulus HIS) dan untuk SMP (MULO) adalah HooftAkte (Kursus seperti PGSLP). Praktek ini berlanjut setelah Indonesia merdeka. Sampai dengan tahun 1957 pendidikan guru SD adalah Sekolah Guru B (SGB – 4 tahun setelah SD), pendidikan guru SLTP adalah sekolah guru A (SGA) 3 tahun setelah SMP, guru SLTA adalah B I (2 tahun setelah SMA). Setelah tahun 1957 guru SD haruslah lulusan SGA. Pada saat itu Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) belum menghasilkan lulusannya.
Kini terutama sejak tahun 1989 kualifikasi minimum untuk mengisi jabatan guru ditingkatkan yaitu untuk guru SD adalah Diploma II Kependidikan (2 tahun pasca SLTA), untuk guru SLTP adalah D3 Kependidikan (3 tahun pasca SLTA), dan untuk guru SLTA adalah S1 Kependidikan dan S1 dengan Akta Mengajar (AktaIV). Pertanyaannya mengapa pada masa penjajahan dan permulaan kemerdekaan, guru dengan kualifikasi pendidikan yang jauh lebih rendah dari kualifikasi pendidikan guru saat ini dipandang telah berhasil menghasilkan lulusan yang “bermutu” sedangkan sekarang dengan kualifikasi pendidikan yang lebih tinggi banyak dipersoalkan mutu dari pendidikan yang dihasilkan.
Memang tidak proposional membandingkan pendidikan pada tahun 1950-an dengan mutu pendidikan pada tahun 1989 keatas. Karena jumlah peserta didik pada dua periode tersebut perbedaannya berlipat. Murid SD pada tahun 1955 sebanyak 7.113.456 orang, tahun 1989/1990 19.296.714. siswa SLTP pada tahun 1955 berjumlah 197.189 orang, pada tahun 1989/1990 jumlah siswa SLTP 13.672.438, siswa SLTA pada tahun 1955 berjumlah 103.267 orang, sedangkan pada tahun 1989/1990 berjumlah 4.338.386 orang. Disamping itu sekolah pada waktu itu pendidikan mengutamakan fungsi memilih dan memilah daripada mengembangkan potensi peserta didik. Karena itu banyak SD yang hanya berhasil meluluskan murid kelas VI-nya sekitar 10 % demikian juga SLTP dan SMA. Sedangkan pada tahun 1980-an pada saat telah dicanangkan wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun dan dirancang wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun fungsi sekolah seyogyanya tidak hanya menseleksi melainkan dan terutama adalah mengembangkan kemampuan peserta didik. Karena itu tidak dapat diterima kalau banyak murid SD dan SMP yang dinyatakan tidak lulus, karena sekolah harus menyediakan tempat bagi anak-anak baru yang jumlahnya berlipat dan harus ditampung. Disinilah letak masalahnya. Peranan guru pada saat melayani jumlah murid yang jumlahnya sedikit dan peranan sekolah terutama adalah memilah dan memilih, tidak dapat disamakan dengan peranan guru, pada saat tugasnya adalah mengembangkan potensi peserta didik yang heterogen latar belakangnya, baik kemampuan dasar, sosial , ekonomi, dan budaya. Dan kenyataan baru inilah yang menjadikan jabatan guru dituntut menjadi jabatan profesional.
Di Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Jerman, yang menjadikan sekolah sebagai lembaga untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal dan mengarahkannya sesuai dengan kemampuan dasar, bakat dan minatnya telah lama menjadikan jabatan guru sebagai jabatan profesional yang pendidikannya setara dengan pendidikan jabatan profesional lainnya, yaitu dokter dan pengacara.
Mengapa pendidikan yang menjadikan massal “Education for All” diabad ke-21 satu Negara berbeda dengan Negara lainnya berbeda dalam penetapan lamanya wajib belajar. Ada Negara yang menerapkan wajib belajar 12 tahun seperti Amerika Serikat, ada Negara yang menerapkan wajib belajar 10 tahun seperti Inggris dan Jerman, dan ada Negara yang menerapkan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun seperti Indonesia, disamping masih ada Negara-negara di Afrika dan Asia Selatan yang menerapkan wajib belajar pendidikan dasar 6 tahun.
Penerapan wajib belajar ini yang berarti bahwa semua anak dengan perbedaan latar belakang baik kemampuan dasar kognitif, latar belakang sosial ekonomi dan minat serta bakat harus memperoleh pendidikan yang bermutu dan dilayani serta dapat berkembang sesuai dengan kemampuan, minat dan bakanya.
Dalam pada itu era globalisasi ini, ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan sumber bahan untuk dipelajari berkembang demikian cepat. Dalam kondisi yang demikian tuntutan terhadap kualitas manusia terdidik baik kemampuan intelektual, kemampuan vokasional dan rasa tanggung jawab kemasyarakatan, kemanusiaan dan kebangsaan juga meningkat sesuai dengan perkembangan masyarakat yang terus berubah dan meningkat tuntutannya kepada para warganya.
Heterogenitas peserta didik dalam berbagai dimensi (intelektual, cultural, dan ekonomi), terus berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknolgi sebagai sumber obyek belajar, terus berubahnya masyarakat dengan tuntutannya merupakan faktor yang menjadikan guru harus profesional. Karena itu peranan guru tidak lagi hanya memberikan pelajaran dengan ceramah dan mendikte tanpa memperhatikan perbedaan kemampuan, bakat dan minat peserta didik. Guru juga tidak dapat lagi menggunakan bahan pelajaran yang sudah ketinggalan jaman. Guru juga tidak dapat lagi hanya membantu peserta didik untuk dapat menjawab pertanyaan yang sifatnya hafalan. Guru dalam era globalisasi perlu mampu merancang, memilih bahan pelajaran dan strategi pembelajaran (dalam banasa KBK Sylabus) yang sesuai dengan anak dengan latar belakang yang berbeda, serta mangelola proses pembelajaran secara taktis dan menyenangkan, mampu memilih media belajar dan merancang program evaluasi yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang berorientasi kepada penguasaan kompetensi.
Untuk itu perlu adanya upaya untuk meningkatkan pendidikan guru yang berderajat profesional. Dikatakan berderajat karena dalam setiap jabatan profesional dikenal hierarki profesional yaitu : profesional, semi profesional, teknisi, juru, dan tukang. Kalau dalam dunia kedokteran kita mengenal : tenaga dokter (profesional), para medic, yang lulusan Akademi semi profesional, yang lulusan SLTA sebagai teknisi (perawat) dan juru rawat. Di Amerika Serikat, guru, baik guru SD, guru SMP maupun SMA harus berpendidikan S1 ditambah satu sampai dua tahun kuliah dan latihan keguruan untuk mendapat sertifikat guru. Di Jerman, untuk guru SD, harus berpendidikan “PAEDAGOGISCHE HOCHSCHULE”—4 tahun setelah SMA, untuk guru (Gymnasium) dituntut pendidikan pada Fakultas Ilmu Pendidikan pada Universitas yang meliputi 6 semester untuk penguasaan ilmu pengetahuan sebagai sumber bahan ajar dan 2 semester paedagogik. Kesemuanya baik guru SD, SMP maupun SMA setelah lulus pendidikan di Perguruan Tinggi/ Universitas tidak otomatis berwenang sebagai guru (certified teacher) melainkan harus melalui tahap magang selama 18 bulan dan di akhiri dengan ujian kewenangan mengajar sebelum dapat memperoleh tanda sebagai guru yang berwenang (certified teacher).
Terilhami oleh praktek pendidikan calon guru didua negara tersebut, dan pengalaman menerapkan berbagai inovasi pendidikan dalam periode 1974 — 1981, penulis pada tahun 1982 sampai kepada kesimpulan perlunya peningkatan jabatan guru sebagai jabatan profesional, suatu jabatan yang memerlukan pendidikan lanjut dan latihan khusus, yaitu S1 plus sebagai yang saya tulis dalam artikel yang diterbitkan pada tahun 1989, (dalam buku Menuju Pendidikan Nasional yang Relevan dan Bermutu, Balai Pustaka, 1989)
Penerapan KBK hakekatnya sama dengan penerapan kurikulum berorientasi tujuan yang diterapkan melalui kurikulum 1975, yang menuntut guru menyusun Satuan Pelajaran. Dalam pelaksanaan KBK guru dituntut menyusun Sylabus. Untuk dapat melakukan tugas tersebut dituntut kemampuan yang didukung oleh penguasaan ilmu pengetahuan sebagai sumber belajar dan sebagai “ways of learning”, mengenal peserta didik dengan karakteristiknya (kemampuan dasar, minat, bakat, dan pola belajarnya), memahami kompetensi yang harus dikuasai peserta didik pada akhir jenjang pendidikan, pada akhir semester, dan pada akhir setiap penggalan belajar, karena tanpa menguasai berbagai pengetahuan dasar tentang ilmu pengetahuan, tentang peserta didik, tentang masyarakat dan budaya tempat sekolah beroperasi, teori belajar, berbagai model belajar, dan berbagai model evaluasi, sukar diharapkan guru akan dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan baru penyelenggaraan pendidikan nasional yang terus berubah, seperti penerapan KBK. Di dunia kedokteran, sebagai salah satu bidang profesi yang telah lama mapan, para dokter tidak mengenal penataran hanya karena adanya cara baru dalam pengobatan. Tidak lain karena sebagai tenaga profesional mereka telah benar-benar siap dengan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk terus mengembangkan kemampuan profesionalnya sesuai dengan tuntutan dunia profesi kedokteran yang terus berubah.
Dibandingkan dengan dunia kedokteran, dunia keguruan, terutama di Indonesia masih jauh tertinggal. Karena itu tepat sekali kalau berbagai pihak melakukan “upaya meningkatkan profesionalisme guru untuk memenuhi tuntutan kurikulum berbasis kompetensi”. Karena bagaimanapun juga pelaksanaan KBK, khususnya untuk menyusun KTSP, dituntut guru yang profesional, sedang tingkat kemampuan profesional guru kita masih beragam.
Dalam kaitan inilah UU No. 14 Tahun 2005 yang menuntut pendidikan guru sebagai pendidikan bertaraf profesional S1 + atau D 4 + merupakan suatu keputusan yang sesuai dengan tuntutan pendidikan memasuki abad ke-21.
Mengapa pendidikan guru profesional perlu berderajat S1 Plus ?
IV. PENDIDIKAN GURU SEBAGAI PENDIDIK PROFESIONAL DAN TENAGA KEPENDIDIKAN SERTA IMPLIKASINYA
Ulasan dari bagian II sampai dengan III hakekatnya berangkat dari suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya selama ini proses pendidikan yang berlangsung di berbagai satuan pendidikan tidak dirancang dan dilaksanakan sebagai proses pembudayaan yang, memungkinkan terjadinya proses transformasi budaya menuju suatu bangsa Indonesia yang cerdas kehidupannya, yaitu yang maju (modern, yang rasional dan berorientasi IPTEK), yang demokratis, yang sejahtera, dan berkeadilan, serta mampu menghadapi masalah sebagai tantangan, dan tantangan sebagai kesempatan untuk maju (problem as a challenge, and challenge as a chance to progress) . Dan bukan bangsa yang memandang masalah sebagai ancaman yang harus dihindari, yang di Jawa dikenal “Ana Bapang Den Simpangi” atau dalam pepatah Melayu “Kalau Takut Dilembur Pasanp Janpan Berumah Ditepi Pantai”. Untuk itulah penulis memandang bahwa filosofi atau konsepsi pendidikan yang dianut UU No. 20 Tahun 2003 menuntut diselenggarakannya suatu proses pendidikan sebagai proses pembudayaan. Untuk itu pula diperlukan guru yang bertaraf profesional. Dalam kaitan inilah penulis memandang kehadiran UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mendudukkan guru sebagai jabatan profesional merupakan titik berangkat untuk merancang pendidikan guru yang relevan. Walaupun demikian penulis tidak sepenuhnya sepaham dengan taksonomi kompetensi guru menjadi Kompetensi Paedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional. Untuk itu selanjutnya pada bagian berikut akan disajikan pandanggan penulis tentang kemampuan profesional guru, kurikulum pendidikan guru, sampai dengan penjenjangannya.
Untuk dapat melahirkan guru yang memiliki kemampuan profesional penuh, perlu diadakan pendidikan S1 plus atau berpendidikan S2 sepert tertulis dalam UU No. 14 Tahun 2005, tetapi bukan S2 akademik seperti yang sekarang kita kenal, melainkan S2 profesional yang mengutamakan kemampuan, merencanakan, mengembangkan, melaksanakan, menilai, mendiagnosis mengorganisisasi, dan memperbaharui program belajar mengajar. Guru dengan tingkat kemampuan profesional yang demikian akan selalu mampu mengembangkan dirinya untuk memenuhi tuntutan baru pembaharuan pendidikan seperti penerapan KBK dan KTSP. Namun kenyataan yang kita hadapi bukanlah demikian : kualifikasi guru SD kita semula secara resmi yang tertinggi berpendidikan D II, walaupun ada yang S1 dan S2, tetapi S1 dan S2-nya kebanyakan akademik bukan profesional disamping masih ada yang belum berpendidikan D II; guru SMP kita walaupun dimasa lalu secara resmi mensyaratkan D3, masih ada yang belum mencapai itu dan ada yang sudah berpendidikan S1, S2, bahkan mengikuti program S3. Tetapi umumnya tidak selalu relevan dengan tugas profesionalnya sebagai guru. Demikian pula dengan guru SMA, yang secara resmi berkualifikasi S1, tetapi masih ada yang belum S1, disamping ada yang telah memiliki gelar S2, bahkan mungkin ada yang sedang mengikuti program Doktor (terutama dikota-kota besar), namun pendidikan lanjutannya umumnya tidak selalu terkait dengan tugas profesionalnya sebagai guru. Misalnya guru kimia SMA, seharusnya memiliki S1 pendidikan kimia, dan S2 pendidikan Kimia, tetapi banyak yang S2-nya bukan pendidikan kimia atau S2 ilmu kimia.
Berangkat dari heterogennya kualifikasi pendidikan dan kemampuan profesional guru dalam upaya meningkatkan kemampuan profesional guru, yaitu : (1) merancang program pembelajaran termasuk menyusun silabus, (2) melaksanakan, memimpin, mengelola, dan menilai program pembelajaran; (3) mendiagnosis masalah dan hambatan yang dihadapi oleh peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran dan menguasai kompetensi yang ditetapkan ; dan (4) menyusun dan merancang berbagai pilihan yang harus dikembangkan untuk membantu mereka, tidaklah mudah. Kiranya perlu diketahui bahwa keempat gugus kemampuan profesional penguasaannya perlu ditunjang oleh penguasaan berbagai pengetahuan dan teknologi yang terkait dengan : (1) karakteristik peserta didik; (2) ilmu pengetahun sebagai obyek belajar dan “ways of learning” atau “mode of inquiry”; (3) hakekat tujuan pendidikan dan kompetensi yang harus dicapai dan dikuasai peserta didik; (4) teori belajar umum dan khusus; (5) model- model pembelajaran sesuai dengan bidang studi; (6) teknologi pendidikan; dan (7) sistem dan teknik evaluasi.
Tujuh gugus pengetahuan dan teknologi tersebut, ditambah dengan pengetahuan dan pemahaman tentang filsafat pendidikan, dasar negara Pancasila, UUD Neqara RI 1945, sejarah nasional bangsa dan sistem pendidikan nasional, merupakan pengetahuan yan•seharusnya dimiliki guru Indonesia yang berderajat profesional. Dengan guru yang pengetahuan dan kemampuan profesionalnya demikian, pembaharuan pendidikan apapun yang dilakukan seperti KBK, tidak akan dipandang sebagai masalah. Dengan derajat profesional, seorang guru dengan mudah menyesuaikan diri dengan tuntutan tugas.
V. PELUANG DAN TANTANGANNYA
Dari bagian I sampai ke IV, jelaslah bahwa misi penyelenggaraan satu sistem pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, telah didukung oleh filosofi dan tujuan pendidikan nasional yang relevan dan jabatan pendidik/guru sebagai tenaga professional. Adalah pandangan penulis nahwa tercapainya pendidikan nasiional dalam wujud kehidupan bangsa yang cerdas kehidupannya akan terletak kepada tenaga guru/pendidik yang diharapkan dapat mengemban amanat K.H. Dewantara “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Dengan misi yang telah ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945 dan ditetapkannya guru/pendidik sebagai tenaga professional peluang guru untuk berkiprah menjadi aktor yang mampu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak generasi muda Indonesia terbuka. Tantangannya adalah bahwa peluang guru akan dibatasi oleh keterbatasan sarana dan prasarana dan sistem evaluasi yang ditetapkan oleh Pemerintah seperti adanya ujian nasional.
Selanjutnya mengenai peluang dan tantangan akan disampaikan lebih lanjut dalam diskusi dengan peserta seminar.
Demikianlah beberapa pokok pemikiran untuk dibahas lebih lanjut.
Jakarta, Oktober 2013
Penulis/Penyaji,
Prof. Dr. H. Soedijarto, MA
Guru Besar Ilmu Pendidikan UNJ
Ketua Dewan Direktur CINAPS
Ketua Dewan Pembina ISPI
Anggauta Dewan Pembina PB PGRI
Anggauta Forum Konstitusi
Wakil Ketua Yayasan Indonesia – Jerman
Ketua Dewan Pakar PA GMNI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar